November 30, 2022
Oktober 27, 2022
Wisata Ranca Upas : Kabut, Rintik Hujan dan Sekawanan Rusa
Selamat Hari Blogger Nasional, kawan-kawan blogger. Semoga tetap konsisten ya berbagi informasi yang bermanfaat dalam karya tulisan. Kali ini saya ingin berbagi kisah perjalanan bulan sepuluh tahun 2022. Tepatnya saat libur tanggal merah memperingati Maulid Nabi dua minggu lalu. Saya kembali mengunjungi wisata yang ada di sekitaran Ciwidey, Bandung. Dua tahun sebelumnya saya pernah menginap di eMTe Highland Resort yang lokasinya berseberangan dengan pintu masuk Kawasan Wisata Alam Kawa Putih.
Part time jadi pawang |
Saya memulai perjalanan dari Cilamaya Karawang. Menaiki angkot biru menuju ke Simpang Jomin. Lanjut berpindah angkot menuju Cikopo. Dari Cikopo, saya naik bus Primajasa jurusan Cikarang - Bandung seharga Rp40.000. Saya turun di terminal Leuwi Panjang. Sayangnya, naik transportasi publik ini membuat perjalanan menjadi lebih santai dan lama sampainya karena bus keluar masuk tol di Purwakarta dan sesekali masuk ke rest area untuk mengangkut/menurunkan penumpang. Pengalaman naik transportasi umum ini saya tuliskan disini. Saya berangkat dari kost sekitar pukul 8.30 pagi. Kondisi Tol Cipularang saat itu cukup padat pula dipenuhi mobil berplat B. Cuaca mendung menyelimuti langit di sepanjang jalan tol. Setibanya di terminal Leuwi Panjang jam 12 siang, saya langsung pesen grab menuju ke Sate Jando Gasibu.
Udara Bandung siang itu mendung putih kelabu. Hawanya tidak pengap seperti di Karawang. Terasa adem meskipun di luar pas siang bolong. Bisa jadi karena relatif banyaknya pohon di sempadan jalan. Ditambah banyaknya ruang publik yang tersedia. Sampainya di Sate Jando, saya bertemu dengan Fajar yang sudah datang lebih dulu. Ia mengantre disana sedari jam 11 kurang.
Mula cerita, kami sudah mengagendakan untuk hiking ke Sunan Ibu sedari lama. "akhirnya kejadian juga ya Jar." Sebelum berangkat, kami mengisi perut lebih dahulu. Sedikit informasi, Sate Jando ini pernah viral di sosial media. Hampir selalu ramai pengunjung. Tersedia menu sate jando (lemak sapi), sate sapi dan sate ayam. Saya mencoba sate campurnya. Dengan baluran bumbu kacang yang agak pedas manis, tentu lezat rasanya. Bakul sate ini buka hingga jam 5 sore. Siap-siap untuk antre lama ya, terlebih saat weekend. Antriannya mengular.
Perjalanan pun dimulai. Kami melewati Margaasih, nyebarang tol ke arah Taman Kopo Indah, berhenti sebentar di Masjid Jami Nurul Huda, lanjut ke arah ke Stadion Jalak Harupat, sampai di Soreang dan terus melaju ke Pasir Jambu. Kontur jalanan semakin menanjak kala memasuki area Ciwidey. Beruntungnya cuaca di perjalanan sangat mendukung. Berdasarkan prakiraan cuaca, hujan akan turun sore menjelang malam hari. Awan putih sudah menyelimuti kolong langit di atas kami. Udara semakin terasa dingin mengenai kulit. Satu jam setengah laju perjalanan dengan motor matic Beat Street. Kami tiba di Reddoorz near Kawah Putih Ciwidey sekitar pukul tiga sore. Ulasan mengenai penginapan bisa kalian baca disini.
Singgah sebentar menaruh barang. Istirahat sejenak meregangkan badan. Melihat pemandangan di balkon belakang. Rumah-rumah penduduk diantara lembah perbukitan yang berundak. Cukup menarik untuk difoto. Meski menurut Fajar, pemandangan itu pun udara disana hampir sama seperti di sekitar rumahnya di Cianjur. Membuat malas bergerak karena dingin. Hahaha.
Selepas ibadah sholat ashar lanjut pergi menuju ke penangkaran rusa Ranca Upas. Sore sekitar pukul empat, masih banyak pengunjung yang masuk ke kawasan penangkaran ini. Dengan bus, mobil pribadi juga kendaraan motor. Tak sedikit dari mereka membawa peralatan camping dengan tas gunung. Di gerbang pos, petugas menagih tiket masuk. Dua orang dengan kendaraan motor dipatok sebesar Rp58.000. Tarif ini berbeda apabila kalian hendak berkemah. Selain penangkaran rusa, disana ada juga onsen, igloo camp dan penginapan ala-ala cabin di bawah rindang pepohonan.
Jalan tapak di penangkaran. Rumput ijo-ijo aja estetik. |
Masuk ke area penangkaran, kalian akan menaiki bangunan semi permanen kayu. Di dalamnya, kita bisa membeli wortel untuk memberi makan rusa. Harga satu ikatnya 10 ribu. Ada juga yang dijual seharga 20 ribu. Jadi bangunan ini seperti ruang balkon memanjang sebelum menurun masuk ke penangkaran. Seketika turun dari tangga. kawanan rusa timor akan reflek mendekati kita apabila membawa wortel. Seolah wortel sudah menjadi menu favorit sehari-hari mereka. Sangat lahap sekali. Satu potongan wortel bisa dilahap dalam sekejap saja.
Rusanya ada yang bertanduk. Kalau diamati seperti ranting kayu. Bercabang meruncing ke bagian atas kanan dan kiri. Bagus bentuk polanya. Ada yang lapuk juga loh ternyata. Bisa jadi sudah berumur atau karena rusa jantan suka adu kekuatan dengan tanduknya. Beberapa ada yang kulitnya terluka. Jadi menurut informasi yang saya baca, rusa bertanduk itu yang jantan, begitu kebalikannya rusa betina tidak memiliki tanduk. Bulu rusa berwarna sama seperti warna bajing/tupai. Lebih dominan kecoklatan.
Saat kami disana, sebagian rusa ada yang duduk bersantai. Seolah mager-mageran memejamkan mata. Ada pula yang mengejar wortel di tangan wisatawan. Lalu ada yang dijadikan obyek foto oleh wisatawan. Dan mereka punya insting. Jika diajak foto tanpa diberi wortel, mereka akan cuek dan tak acuh dengan pengunjung yang mendekatinya. Berbeda dengan wisatawan yang memberi wortel, mereka akan welcome untuk diajak berfoto. Berkunjung Ranca Upas seru sekali. Terlebih jika membawa anak-anak untuk berinteraksi dengan hewan yang cenderung jinak ini. Namun tetap hati-hati ya, mereka juga bisa agresif menanduk pengunjung. Saya melihat ada wisatawan yang dikejar dan ditanduk hingga tergopoh.
Di pematang sekitar penangkaran, padang rumput berparas kehijauan tumbuh sangat alami sekali. Pohon-pohon tumbuh rapat di perbukitan yang nampaknya kabut semakin pekat. Terbawa angin. Bergerak dramatis. Tentu kalian pernah melihat kabut yang menambah suasana semakin terasa syahdu. Momen sendu yang saya saksikan kala sore itu. Beberapa tenda berwarna-warni terpasang di padang rumput dekat pepohonan nan jauh sana.
Lama kemudian, titik-titik air membasahi tanah Ranca Upas. Hujan lebat membuat rembesan air hujan menguapi aroma bau tanah. Mungkin ditambahi campuran bau kotoran rusa pula. Beruntungnya tereduksi dengan oksigen juga tanaman yang tumbuh subur disana. Udaranya jadi segar nan sejuk. Hawa dingin menjulur ke sekujur kulit. Setengah jam sudah, derasnya titik air yang jatuh mulai merintik. Kami pun menunggu momen hujan di kala senja. Suasana makin damai saat bersama nuansa alam.
Ketika hujan mereda menjelang masuk waktu maghrib. Kami keluar taman penangkaran. Mlipir sebentar ke warung kopi gunung. Kafe estetik diantara pohon-pohon tinggi besar. Kabut sehabis hujan dengan rintik sedu mendayu gelap malam yang akan tiba. Kami minum kopi sebentar untuk menghangatkan badan. Segelas kopi dan sepiring mendhoan. Lantas hujan mendera kembali dengan intensitas yang semakin deras. Menunggu satu jam lamanya namun tak kunjung reda. Akhirnya kami menerobos rintik yang tersisa sedikit. Nyatanya perkiraan kami salah besar. Jalan ke bawah dekat penginapan, hujan justru masih turun amat deras. Pakaian dan sepatu kami basah kuyup karena hanya memakai jas hujan satu dibagi dua. Saya memakai bagian atasnya. Sedang Fajar memakai bagian celananya. Masih ada untungnya, ada air hangat di penginapan.
Sekian cerita saya berkunjung ke Ranca Upas. Mari menunggu kisah perjalanan berikutnya ke Sunan Ibu. Selamat malam.
September 12, 2022
Sentiaki Coffee : Rekomendasi Coffee Shop di Cilamaya
Mazagran Signature |
Coffee Bar Sentiaki |
Es Kopi Susu vs Kopi Susu Karamel |
September 04, 2022
Trekking Tektok ke Gunung Papandayan
View Papandayan dari Taman Edelweiss |
Gue cuma jawab, "lah emang kenapa? lagi gue juga tektok, gak camping di atas. Lagi juga Papandayan juga trek pendek, rame yang kesana. Kecuali gue camping ke puncak ya, itu mah emang baiknya ramean ya."
Agenda trekking ke Papandayan ini udah lama banget masuk ke wishlist destinasi #DiIndonesiaAja. Selain pengen nyobain KA Cikuray yang baru diresmikan jalur keretanya di Maret tahun ini. Buat kalian warga Jabodetabek, mau ke Garut bisa banget naik kereta ini. Sayangnya jadwal perjalanan kereta ini masih satu kali perjalanan dan jadwalnya kurang fleksibel. Berangkat dari Pasar Senen 17.55 pas maghrib sampai di Garut itu pukul 00.53 dini hari. Sedangkan jadwal keberangkatan dari Garut pagi banget pukul 07.05 dan sampai di Pasar Senen 13.32 siang. Jadi kalau kalian mau kesana, minimal meluangkan waktu 3 hari atau bisa saja dua hari namun pulangnya naik dari Stasiun Leles dengan kereta Serayu.
Di Garut gue nginep di Pondok Kost Aulia, booking online di Traveloka. Ini rumah kost-an. Untungnya gue udah konfirmasi ke pemilik kost bakalan sampe tengah malam. Dan bener gue baru sampe sana jam 1 malam. Rumahnya udah ditutup pagernya. Akhirnya gue nunggu di sofa depan rumahnya dan gak lama bapaknya kebangun soalnya gue telepon berkali-kali, sorry banget ya pak.
Niatnya mau jalan sehabis subuh, eh baru keluar penginapan jam 9. Ngegojek ke tempat penyewaan motor lalu cus ke arah Papandayan. Dari pusat kota sekitar satu jam untuk sampai kesana. Aspal jalanan kota ini terbilang kurang baik sebab banyak jalan-jalan yang ditambal dan tidak sedikit yang berlubang. Terlebih ketika memasuki jalan pertigaan ke kanan, desa tepat di bawah kaki Papandayan, jalannya banyak yang kurang alus atau layak. Hanya beberapa ratus meter memasuki kawasan wisata saja yang jalannya mulus.
Wisata Gunung Papandayan terbilang ramai siang itu. Banyak rombongan ibu-ibu naik bis. Dan melasnya, bisnya gak nanjak sampai ke area parkiran. Jadi lah mereka jalan sampai ke area parkiran. Dan gue sampai sekitar pukul setengah sebelas siang. Setelah membayar retribusi seharga Rp30.000 untuk pengunjung nusantara, ditambah biaya masuk roda dua Rp14.500. Jadi total biaya masuk ke gunung ini sebesar Rp44.500.
View Papandayan dari Menara Pandang |
Jalur pendakian menuju Kawah - sebelah kanan ada Tebing Sunrise |
Lepas setelah makan, saya ibadah sebentar dan setelahnya menuju ke taman edelweiss yang dibudidayakan dengan beberapa bunga-bunga dan pohon cantigi. Tamannya berada dekat dengan cottages/penginapan. Terdapat pula masjid, toilet dan gazebo untuk bersantai.
Udara disana segar sekali tentunya dengan kualitas air yang bersih pula. Saya merasa betah sekali, meskipun masih berada di bawah, pemandangan di sekitaran yang juga sangat indah memanjakan mata.
Tepat jam 12 lebih sekian menit, saya mulai berjalan santai menuju ke atas. Jalanan aspal menanjak sedikit berakhir ke jalanan tanah pegunungan. Matahari cukup terik kala itu, namun awan sedikit menutupi setengah bagian atas area disana. Saya merasa hangat dan angin yang berhembus memberi suasana kesejukan. Di sisi bawahnya, langit biru sedikit memberikan warna langit menjadi kontras. Saya trekking sendiri dan bersama pendaki lain yang hendak berkemah. Pengunjung lain tak sedikit juga yang tektok untuk sekadar melihat-lihat kawah.
Tebing batuan yang di peta disebut dengan Tebing Sunrise ada di sebelah kanan. Bekas kontur gunung yang sudah runtuh menyisakan sedikit bagian menjulang ke atas. Aliran air gemericik di sela-sela antara celah gunungan yang berasal dari kawah atau hulu gunung. Bekas belerang tampak ada dimana-mana. Bekas lubang kawah kecil pun masih tampak terlihat menganga. Ada banyak sekali. Sementara cerukan gunung di ujung kiri tampak lebih panjang mungkin di sisi itulah puncak gunung ini berada. Warna coklat kehijauan, kokoh dan membentengi kawah.
Trek pendakian menuju ke Kawah & Bunderan |
Hutan Mati |
Disini saya bertemu beberapa pengunjung yang hendak kemah ke Pondok Saladah. Kalau di peta, Pondok Salah bersebelahan dengan hutan mati letaknya. Tidak terlalu jauh jaraknya. Saya mengabadikan foto dan momen sebentar di hutan mati. Sembari berjalan, terus mengarahkan kaki menuju Pondok Saladah. Lurus terus ke depan lalu berbelok ke arah kanan. Disini, tumbuhan pakis dan pohon-pohonnya lebih rapat. Suasana gelap nan sepi pun terasa sekali. Setelah berjalan, terus mengikuti jalurnya, akan menemukan arah ke Pondok Saladah. Akan mulai banyak tumbuhan edelweiss dan tumbuhan khas ketinggian lainnnya. Betul saja tak jauh, sampai juga saya di Pondok Saladah. Sebuah area tanah lapang yang luas. Tempat para pendaki mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melihat sunrise di Tegal Alun, ladang edelweiss terbesar di Asia Tenggara.
Pondok Saladah |
Trek dari Hutan Mati menuju Pondok Saladah |
Kawah Papandayan yang memencar dimana-mana |
favehotel Cilacap Kenalkan Menu "MABAR NUSANTARA"
- Your name : Prastio Andi Prayogi
- Your title : Senior Sales Executive
- Your hotel name : favehotel Cilacap
- Email address : cilacapse@favehotels.com
- Mobile number : +6287821803905