5 hari berlalu saya mengeksplore beberapa tempat menarik yang
ada di sekitar Purwokerto (Banyumas). Hampir 24 jam pun akan berlalu. Mengulik
video perjalanan dan sekarang saya menulis blog ini untuk mengabarkan keindahan
wisata Banyumas. Tentunya pula turut berpartisipasi dalam Lomba Utama Blog Jateng 2015 dengan periode terakhirnya
yang sayang untuk dilewatkan. Dengan tema Cinta Wisata Jawa Tengah ini, saya
mengulik tempat wisata di daerah saya sendiri. Tujuannya agar semua orang tahu
dan segera berkunjung, kesini, Banyumas dengan Purwokerto-nya yang semakin berkembang, banyak terdapat potensi pariwisata yang beragam, dari wisata alam, wisata
budaya, wisata belanja dan kuliner, wisata sejarah (museum), wisata religi, dan
wisata buatan yang masih relatif sedikit jumlahnya.
***
Satu
tempat yang sejak lama ingin saya kunjungi terletak di Desa Cikakak, Wangon. Untuk menuju kesana dari Purwokerto sekitar 1 jam melewati Ajibarang. Kebetulan
sekali, seorang teman saya dari Jogja mengajak jalan-jalan. Waktu yang tepat untuk mencari pengalaman berpetualang.
Tujuan pertama kami
yaitu Curug Cipendok. Air terjun ini memiliki ketinggian lebih 90 meter. Tiket masuk
per Juni 2015 sebesar Rp 7.000/orang , Rp1.000/motor, dan retribusi parkir
Rp3.000. Memasuki tempat parkiran sampai dengan jalanan berbatu, rupanya masih sama saat
pertama kali saya kesana pada tahun 2012. Bedanya dibuat jalur baru saat akan
turun menuju curugnya. Debit airnya pun sama, mengalir deras ke bawah
jatuh menabrak bebatuan. Berterbangan kemana-mana. Bahkan jarak 10 meter jaket
saya lama-kelamaan basah juga. Sesekali terlihat efek pelangin muncul. Tidak ramai
orang yang berkunjung saat itu, beberapa wisatawan lokal dan seorang bule yang
memancing disana. Saya mencoba turun di aliran airnya, rasanya seperti air es.
Dingin sekali.
Sepulangnya kami melewati jalur bawah yang lebih jauh dibandingkan
lewat atas. Untungnya di sepanjang jalan, tumbuhan bunga berwarna pink
menghiasi wilayah hutan itu. Tumbuhan tropis lebat menutupi bagian atasnya. Cahaya
matahari tidak menembus dedaunan. Benar-benar sepi. Hingga akhirnya bertemu
dengan pasangan yang sedang duduk di bawah pohon. Apabila melewati
jalur bawah jaraknya sekitar 1 km (30 menit) dengan kontur jalan menurun juga menanjak. Sedangkan kalau lewat atas sekitar
15 menit saja. Terbayang di pikiran saya, curug ini memilki karakter yang sama
dengan Coban Rondo di Kota Batu. Berada di hutan tropis, air mengalir dari ketinggian di antara sisi tebing, dan aliran air yang dangkal. Bedanya, kalau disana pengunjungnya sudah
banyak dengan warung berjejeran di tempat parkiran yang penuh dengan bus-bus
pariwisata. Hal itu didukung dengan akses jalan yang layak. Sementara jalan ke
Curug Cipendok ketika melewati Desa Karangtengah, ada jalanan rusak parah dan
berlubang lebih dari 1 km. Memang ada jalan alternatif melalui Desa Tumiyang,
Pekuncen. Hanya saja lebih jauh dan memutar. Semoga saja pemerintahan terkait segera membangun akses jalan yang layak untuk memajukan wisata alam di Cipendok.
Curug Cipendok |
Bunga di tepi jalan |
Perbukitan |
Melanjutkan
ke destinasi impian saya, Masjid Sakatunggal dan Taman Kera. Jarak tempuh dari
Ajibarang cukup dekat. Hanya saja kami kurang tahu persis dimana lokasinya.
Mengandalkan GPS, kami sempat salah jalan dengan jalan buntu dan di seberang
sungai terlihat masjid tersebut. Kami hanya tertawa di ujung jalan dan memutar
balik. Sampai di gerbang masuk, ibu-ibu menyodorkan tiket masuk dengan mematok harga
sekaligus menawarkan kacang dan pisang (barang dagangannya) sebesar Rp10.000 termasuk 5 bungkus kacang.
Memasuki wilayah tersebut, puluhan kera berkerumun di jalanan, ada yang langsung
mengambil pisang di motor pengunjung di depan kami. Sepertinya kera-kera itu
kelaparan. Buktinya saja, dalam berita salah satu program televisi Trans (4/7-2015), kera-kera tersebut merusak rumah warga dan mengambil makanan. Kasian.
Kami langsung menuju ke masjid dengan tulisan Jami’ Baitussalam di bagian atas masjid. Kera
mendekati kami yang baru saja turun dari motor. Langsung saja saya beri kacang.
Mereka berebutan. Ada satu kera yang paling besar yang sepertinya penguasa area
itu. Tak jarang kera-kera tersebut berkejaran satu sama lain.
Masjid Sakatunggal Baitussalam |
Ibu
penjual kacang pun mendekati kami dengan menawarkan dagangannya. Saya melihat seorang
kakek memegang sapu tiduran di lantai masjid bagian luar. Masjid itu masih tampak
kuno sebab termasuk cagar bangunan yang dilindungi keberadaanya. Masjid dengan
arsitek jawa, berdinding beton dengan pintu dan jendela kayu, beratapkan seng itu memiliki tiga ruangan. Ruangan paling depan (utama) dengan satu tiang
berdiri di bagian tengahnya menyanggah bagian atap, bertuliskan angka 1288 (tulisan
arab), bedug di sisi kanan, lembaran ayat Al-Qur’an dalam bingkai di bagian
depan yang tampak robek. Ruangan sebelah kiri tempat untuk ibadah wanita.
Sementara ruangan paling belakang sepertinya untuk mengaji karena terdapat Al-Qur’an.
Di sekitaran masjid ini terdapat beberapa rumah yang masih terjaga
kelestariannya. Di sisi baratnya terdapat makam. Akhirnya saya berhasil mengunjungi masjid
tertua itu. Kami pun pulang. Mampir ke warung soto kriyik yang membuat saya
penasaran setelah melihat postingan di sosial media teman saya.
Esok
harinya, saya berencana merelaksasikan badan di Pancuran Tujuh, Baturraden.
Saya kesana bersama dua teman saya, Adit & Wildan. Kami melewati jalur
belakang. Melalui Desa Ketenger. Pertama melewati pipa air, lalu pematang sawah di sisinya. Bukit dengan pohon pinus di sebelah kiri tempat dimana outbond makrab Pramuka
sewaktu SMA. Kami pun bertemu dengan orang-orang sehabis camping. Tak jauh melewati
tangga, sampailah di Kolam Tando Harian peninggalan Belanda. Menyebrangi jembatan yang airnya digunakan PLTA milik Indonesia Power dan mulai memasuki wilayah hutan.
Terus mengikuti jalanan sampai bertemu dengan sungai yang tak jauh dari tebing
belerang. Airnya jernih dan bersih. Berasal dari hulu kaki Gunung Slamet.
Disana
kami langsung mandi di Goa Selirang. Merasakan hangatnya campuran air panas
yang sudah bercampur dengan mata air dengan kandungan sulfur. Benar-benar
nikmat. Pijat gratis di bawah aliran air yang mengalir. Kami menikmati
relaksasi setelah berjalan cukup jauh. Tidak lama, kami naik ke atas lagi ke
Pancuran Tujuh. Di sisi tebing, lumut berekosistem dengan subur. Sungguh mempercantik tempat itu.
Ande-ande Lumut |
Suasana di atas cukup ramai dengan kunjungan wisawatan. Ada yang pijat dengan belerang, berfoto
di pancuran tersebut, piknik bersama keluarga, dan tentunya mengabadikan momen.
Ada pula fasilitas berendam air hangat di kamar ganti yang disediakan dengan
membayar Rp5.000 saja. Di dekat pancuran tersebut, ada tempat keramat (makam)
Mbah Atas Angin. Terlihat sesaji di bagian depan dan didalamnya. Tidak lama
menikmati perjalanan hari itu, kami pun pulang membawa kenangan, kebahagiaan dan
Adit membawa sebungkus belerang.
Onsen ala Baturraden |
***
Kegiatan saya hari ini diisi dengan ngabuburit keliling Purwokerto. Dari rumah, saya menuju ke arah Margono ke Monumen Gatot Subroto. Patung Jenderal Gatot Subroto terlihat gagah menaiki kuda, memakai seragam kemiliteran dan memegang tali pelana, dan kuda mengangkat satu kaki, bisa diartikan sang jenderal hanya mengalami luka saat perang melawan Belanda. Kemudian saya melanjutkan ke arah Tugu Adipura Kencana. Tugu dengan wajah baru tersebut memiliki air mancur dengan lampu warna-warni yang menyala anggun di malam hari. Terlihat seperti menari-menari. Memang terlihat menarik. Bahkan sering mengundang ketertarikan anak-anak bermain di sekitaran tugu tersebut. Tidak lama saya berhenti disana, saya menuju ke Monumen Estafet di depan Taman Andhang Pangrenan. Monumen tersebut mengartikan terkait pemberian tongkat estafet kepada anak muda yang bernilai akan pemberian tanggung jawab dari generasi terdahulu ke generasi sekarang agar tetap semangat membangun bangsa yang lebih maju.
Alun-alun Purwokerto |
Kemudian mengarah ke Alun-Alun. Seperti biasa, banyak orang-orang menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman disana. Apalagi bulan puasa, selagi menunggu buka, sekaligus ngabuburit. Ada yang naik kuda, berfoto di dekat air mancur, anak-anak bermain riang, dan ada juga yang sekedar santai. Lalu menuju ke depan Museum BRI, tampak patung Raden A. Wiryaatmaja, pendiri koperasi (De Purwokertosche Hulp en Spaarbank der Irlansdche) pertama di Indonesia (cikal bakal Bank BRI). Di dalam museum tersebut terdapat replika bangunan gedung BRI di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya. Banyak koleksi uang dan alat hitung/mesin zaman dahulu. Selanjutnya mengarah ke Jalan Merdeka, ada bangunan yang cukup menarik perhatian, ialah Masjid Soedirman. Sebuah bangunan berarsitektur megah. Tak kalah megah dan desain yang menarik, Masjid Tujuh Belas berdiri kokoh di depan SMA Muhammadiyah 1 Purwokerto.
Payung Lampion di Taman Lalu Lintas |
Malam harinya, saya menuju ke Terminal Bulupitu. Disana sedang dibangun sebuah Taman Lalu Lintas Anak Bangsa. Sebagian area yang termasuk dalam kawasan terminal sudah selesai dan sering digunakan untuk nongkrong anak-anak, muda-mudi, hingga orang dewasa. Terdapat fasilitas bermain anak-anak, panduan berlalu-lintas yang benar, dan payung lampion yang menyala sehabis maghrib. Sejak dibuat hingga sekarang fasilitas ini masih selalu ramai dikunjungi anak muda sekedar berfoto dengan latar payung lampion tersebut. Saya disana hanya merekam beberapa momen, kemudian berlalu melewati Andhang Pangrenan. Rupanya di depan taman tersebut, banyak pula anak muda nongkrong di sekitaran taman itu. Tujuan utama saya adalah Alun-Alun Purwokerto. Biasanya orang-orang segala usia banyak berkumpul disana ketika malam hari. Ada banyak jajanan dijual disana. Ada mainan untuk anak-anak, ada pula pengamen, badut, pengemis, dan tentunya air mancur yang menyala. Belum lagi pemandangan bangunan tinggi tepat di depan alun-alun yang akan dijadikan pusat perbelanjaan. Suasana disana ramai kendaraan berlalu-lalang. Saya pun mengabadikan momen disana.
***
Hari keempat. Tidak sah rasanya kalau hanya mengeksplore sekitar Purwokerto saja. Saya rindu dengan momen senja di satu titik antara di Rawalo dan Kebasen. Tepatnya Sungai Serayu. Sungai legendaris yang mengalir dari Wonosobo hingga Cilacap dengan panjang 181 km. Menuju tempat ini melalui Patikraja adalah kesukaan saya. View yang bagus dimana jalan bersebelahan langsung dengan sungai. Ada pemandangan pohon pinus di atas bukit. Rel kereta api menambah nilai keindahan tempat itu. Belum lagi ketika mendapatkan momen yang tepat saat senja, ketika kereta api melewati jembatan di atas sungai tersebut. Momen yang sangat menarik untuk diabadikan.
Bendung Gerak Serayu |
Ketika itu, saya berangkat siang hari. Kebetulan, cuaca sedang cerah. Komposisi awan tertata menggumpal rapi sedikit-sedikit. Tepat di pinggir jalan, saya berhenti memperhatikan orang-orang memancing ikan di sungai itu. Nampaknya mereka sebuah komunitas, sebab terlihat mobil dengan identitas suatu komunitas tertentu terparkir. Saya menunggu kereta menyebrangi jembatan namun tak kunjung lewat. Akhirnya saya beranjak ke bendungan. Disana saya berhenti lagi. Mengambil gambar dan video. Debit airnya tidak terlalu deras, kemungkinan karena sedang dalam musim kemarau. Saya pun menyebrangi jembatan kecil di atas bendungan tersebut yang hanya cukup dilewati satu motor. Sesampainya di seberang daratan, kereta api lewat tepat di depan saya mengarah ke selatan. Saya sempat mengambil gambar namun hanya sebentar. Rasa penasaran saya untuk melewati jalanan wilayah Kebasen. Disana terdapat terowongan kecil. Ada pula warung menjajakan kelapa muda di pinggiran sungai itu.
Terowongan Kebasen |
Keinginan masih berlanjut. Saya menuju Banyumas melewati Papringan. Kawasan sentra batik di Banyumas. Ini pertama kalinya saya melewati wilayah itu. Saya melihat kanan kiri, berharap menemukan ada orang yang sedang membatik. Sepanjang jalan, saya tidak menemukannya satu pun. Hanya ada, galeri batik yang sedang dibangun, dan satunya lagi tutup. Sayang sekali.
Kayunya kokoh |
Sampai di Kota Lama Banyumas. Alun-Alun Banyumas kondisinya berantakan. Pohon-pohon sejenis palem ditebang dan batangnya jatuh di tengah alun-alun dengan rumput yang tidak terawat itu. Saya singgah ke Masjid Nur Sulaiman. Cagar budaya yang masih terjaga baik bentuk dan nilai seninya. Bangunan bergaya jawa, dengan latar di bagian depannya, seperti pendopo. Memasuki masjid ini rasanya adem dan tenang. Sehabis sholat dan membaca Al-Qur’an sebentar, saya memperhatikan rangka bangunan masjid tersebut. Kayu jati berwarna coklat memperkokoh bagian tiang, rangka atap, dan ornamen pintu maupun jendela. Saking betahnya di masjid itu, banyak orang duduk dan sekedar istirahat di bagian latarnya.
Tujuan selanjutnya adalah ke Museum Wayang yang terletak di area Pendopo Kecamatan Banyumas. Sayang sekali, ketika hendak mengambil gambar, handphone saya low battery. Akhirnya saya mengakhiri jelajah hari itu. Sayang rasanya kalau tidak bisa mengambil gambar/video.
***
Keesokan harinya, saya memilih Lokawisata Baturraden sebagai tempat terakhir saya menjelajah Banyumas. Tiket masuk per Juni 2015 Rp14.000/orang, dengan jam buka mulai pukul 6.00 WIB. Banyak wahana bisa kita temukan disini. Ada kolam renang, pemandian air hangat, cascade (air mancur), Air Terjun Gemawang, sepeda air, pesawat, dan Pancuran Tiga.
Welcome to Baturraden |
Baturraden memang menjadi lokasi paling adem, tenang, dan nyaman di Purwokerto. Selain tempatnya sejuk, pemandangan disana dapat menenangkan hati dan pikiran. Tidak salah kalau Baturraden menjadi wisata pilihan bersama keluarga maupun teman.
Tidak banyak yang saya lakukan selama disana. Hanya melihat-lihat pemandangan dari atas jembatan dan berkeliling santai. Kebetulan pula, kunjungan wisatawan sedang sepi. Rasanya benar-benar seperti taman milik sendiri.
***
Banyumas punya banyak pilihan wisata yang bisa dikunjungi. Dipastikan lebih dari 5 hari untuk dapat mengunjungi semua obyek/tempat wisata yang ada. Perubahan setelah adanya city branding : Better Banyumas (Banyumas lebih baik) semoga pemerintahan semakin gencar mempromosikan potensi wisata, menyebarkan kalau memang benar Banyumas itu lebih baik untuk dikunjungi, mengajak masyarakat semakin sadar wisata, dan membangun infrastruktur lebih baik lagi. Saya mendukung kemajuan wisata daerah dan apresiasi dengan pembuatan plang wisata. Semoga menjadi langkah awal kesiapan sektor pariwisata Banyumas. Terlebih, akan direvitalisasinya jalur kereta api Purwokerto - Wonosobo pada masa mendatang, seharusnya semua elemen mulai membenahi dan mempersiapkan ketika nantinya Banyumas menjadi kota wisata seperti Kota Batu, Malang, dan Bali dengan tetap menjaga kelangsungan ekosistem alam, tradisi dan budayanya. Salam Pariwisata !!
Banner Lomba Utama |
0 komentar:
Posting Komentar