Lunglai. Pusing. Hard Thinking. Badan pegal. Alhamdulillah, beruntungnya hati teramat bahagia atas rencana Tuhan yang tidak disangka akan sebaik dan semakna hari ini.
Otak tidak mau kalah dengan nafsunya merangsang tangan untuk sesegera merangkai kata-kata dan menyebarkan kebahagiaan hari ini. Sedikit egoisnya, otak sinkron ke mata untuk tidak (belum) diistirahatkan. Mata yang selalu menurut pun mengabulkan perintah otak. Otak memang ambisius. Selalu berpikir keras, terkadang random, hingga penuh fantasi. Kasihan tulang telapak kaki dan punggung, refleks menggerakan dan menghasilkan suara-suara *krek* untuk menghilangkan rasa kaku pada organ mereka.
Kisah kejadian hari ini berlatarkan suatu desa pesisir di selatan Jawa Tengah, tepatnya di Kabupaten Kebumen, Kecamatan Ayah. Memasuki jalan masuk menuju pantai, terpampang jelas peta lokasi wisata saat kami mengantri untuk membayar tiket masuk sebesar Rp3.000/orang dan Rp2.000/motor. Masih terjangkau bukan bila dibandingkan saat dua bulan yang lalu, saya masih gratis masuk kesana (Pantai Lampon).
Sugeng Rawuh ing Pasir Indah. |
Sampainya di parkiran dekat TPI Pasir, seorang pemuda tanggung mengatakan agar membawa motor yang kami kendarai untuk terus dipakai naik ke atas bukit. "Jalannya belum bagus sih, masih tanah, tapi bisa kok dilewatin. Di atas ada parkiran", paparnya.
Menanjak di jalanan bukit dengah tanah jenis kapur dengan sedikit batu-batuan lancip membuat saya dan Kang Wil bergoyang-goyang di atas motor. Selain berdebu, kasian motornya dibajak ke jalanan yang belum diaspal (ini sih kata pemilik kendadaan). Harus hati-hati dan pelan melewati jalanan itu. Beberapa orang berjalan di pinggiran. Sekitar ratusan meter sampailah di tempat parkiran dengan jalan agak menurun sebelah kiri di bawah pohon jati milik Perhutani. Ramai kendaraan terparkir. Puluhan motor dan beberapa mobil. Terdengar suara pidato di atas panggung. Terlihat seperti beberapa orang berseragam angkatan duduk di kursi dekat panggung. Sementara warga sekitar berdiri di sekitarnya. Tidak disangka, sedang berlangsung acara silahturahim sekaligus peresmian Desa Wisata Pasir, Ayah, Kebumen.
Saya melihat lokasi sekitar. Akses pendukung seperti toilet, penampungan air, area parkir, warung kecil-kecilan, mushollah sudah tersedia. Good job lah !! Suasana ramai sekali. Hawa sejuk. Di antara batang dan daunan yang menutupi, lautan biru luas terlihat sedikit.
Area Parkiran, Toilet, dan Musholla. |
Rencana awal, kami hendak ke Pantai Surumanis, tapi Tuhan menghendaki kami ke Tanjung Karang Pengantin. Sebenernya untuk ke Surumanis masih lurus lagi mengikuti jalanan utama. Tapi saya tak kuasa, rasa lapar sungguh terasa. Saya pun membayangkan melahap makanan yang telah dibungkus oleh mamak tercinta saya ketika di rumah. Saya dibawakan bekal olehnya karena belum sempat sarapan. Saya teringat pula akan nasehat mamak agar tidak berenang di pantai. Bahkan berulang kali beliau menegaskan kalimat yang sama persis kata-katanya, "nanti ojo mandi-mandi neng pante. men pun diajak kawan-kawan e, ojo mandi-mandi, ombak e gede." Saya mengiyakan saja. Saya memaklumi beliau sebagai orang tua, orang yang memiliki cinta dan kasih kepada anaknya. Orang yang memiliki pandangan (mindset) yang terkadang kolot alias kuno tapi bernilai benar. Orang yang telah banyak memakan asam garam. Orang yang selalu khawatir dan selalu mengingatkan. "Terimakasih mak, untuk semuanya. I Love You."
(Back to the main story)
Tujuan kami ke Tanjung Karang Pengantin. Dari parkiran, berjalan menyusuri jalan setapak ratusan meter. Melewati sisi-sisi bukit karst bertanah kering. Saking keringnya, pijakan saya tidak stabil, saya terpleset ketika berbelok dengan sedikit kontur menurun. Dari berdiri menjadi duduk. Sakitnya mana tahan. Mana lapar, pake acara kpeleset pula. Astaghfirullah.
Di kejauhan, nampak orang berada di tanjung yang akan kami tuju. Mereka tepat sedikit lebih tinggi dengan air laut yang memecah karang. Tanjung tersebut konstruknya batuan karang. Terlihat datar dan lebar. Tumbuhan hijau mengumpul di bagian atasnya. Ada bagian dimana celah tempat air menabrak karang tersebut.
View dari kejauhan. |
View dari dekat |
Tak lama, kami melewati Goa Wora-Wori. Berhenti sebentar. Meneduh di mulut goa. Kata guidenya, goa itu bertingkat dua. Wow !! Penasaran kami, saya tunda dahulu dan melanjutkan perjalanan setelah membeli tisu di lapak pedagang minuman. Baru berjalan sebentar, kami sampai di Goa Celeng. Disitu makin terlihat jalan ke Karang Pengantin. Jalan menurun landai. Lagi-lagi guide menyapa ramah dan menyarankan agar masuk ke dalam. Awalnya kami menolak. Ibu pemandu yang berjaga disitu merayu kami, "masuk aja mas. Lewat dalem teduh loh, bisa nembus ke bawah". Bukan karena tidak kuat dengan rayuan ibu muda itu. Kami memasuki goa, sebab kepanasan dengan teriknya jam 12 siang matahari dengan cuaca yang cerah. "jalannya merunduk ya", kata ibu itu lagi. Goa ini memiliki mitos gaib zaman dahulu, yang katanya kalau memasuki goa tidak akan kembali dan faktanya emang banyak celeng liar disana, makanya namanya Goa Celeng. Ah elah pantesan ga balik wong goanya nembus. hehe.
Goa Celeng |
Mulut goa cukup besar, ruang di dalam semakin menyempit seukuran 1 meteran sehingga harus menunduk dan lama kelamaan semakin rendah menjadi merangkak ketika sampai di ujung goa hendak keluar. Pada bagian dalam tanahnya agak basah. Memberi rasa dingin yang terasa di kepala. Di pintu keluar, banyak orang sekedar istirahat merasakan sensasi adem di sisi goa. Saya bertemu kembali dengan pedagang penjual minuman. Di sepanjang jalan yang kami lalui, warga sekitar mengais rezeki dengan berjualan makanan dan minuman. Sangat bersyukur dengan dibukanya obyek wisata baru tersebut, menambah pekerjaan dan pemasukan buat orang-orang disana. Selain itu, uniknya lagi, kebanyakan pengunjung hari ini yang mungkin jumlahnya ratusan lebih yang kami temui di sepanjang jalanan setapak adalah mayoritas warga penduduk sekitar (tua muda) yang justru penasaran dengan apa saja yang ada disana.
Jalan tembusan Goa Celeng. |
Wisatawan berteduh di pintu keluar Goa Celeng |
Nyatanya disana banyak sekali obyek yang cukup menarik untuk disinggahi. Ada plang ke grojokan mengarah ke bawah, kami lurus ke arah tanjung. Kemudian melewati tangga menurun yang terbuat dari kayu di antara karang besar. Lumayan curam. Hati-hati gaes. Pelan-pelan saja kalo kata Kotak mah. Lalu akan terlihat sisi pantai si sebelah barat, ada Pantai Surumanis dengan goa kecil di ujungnya, Pantai Pecaron, dan mercusuar Tanjung Karang Bata (yang diakses dari Pantai Menganti). Memasuki wilayah hijau tanjung tersebut. Terus berjalan mengikuti jalurnya. Hingga menuruni karang bukit tersebut dengan jalanan yang kecil curam. Di salah satu spot, akan ada sisi jurang sebelah kiri yang terapit dua karang besar tinggi yang dibawahnya mungkin jutaan kubik air teramat deras menghempas bagian bawahnya. Belum adanya pembatas dan harus ekstra hati-hati melewatinya. Sampai di dataran. Hanya batu-batuan karang mendatar cukup lebar menjorok ke laut. Disitulah Tanjung Karang Pengantin.
Tangga Kayu |
View di arah barat. Tanjung Karang Bata (paling ujung) |
Di bawah sana katanya ada grojokan yang airnya bisa diminum. |
View bagian barat (Pantai Surumanis, Pantai Pecaron, Menganti) |
Di bawah sana jutaan kubik air saling beradu menabrak karang |
Kami meneduh di sisi karang. Langsung menyantap makanan yang saya tenteng-tenteng sejauh berjalan. Nasi putih, lele goreng dan sambel kentang. Kami piknik disana. Makan dengan pemandangan membiru. Dihibur riak gelombang menabrak batas daratan. Sungguh nikmat. Liat video amatirnya.
View dari Tanjung Karang Pengantin |
Ombak menabrak sisi daratan bukit bagian bawah. *Bammmm* |
Ada bendera merah tanda batas aman disana. Saya berjalan ke arah dataran karang. View liukan bukit di belakang dimana banyak orang berjalan di pinggirnya, buih ombak besar begitu kerasnya menabrak di sepanjang bagian bawahnya. Karang begitu kuat. Silih berganti ombak terus melawan, namun ia tetap menang. Ombak tidak menyerah. Pertarungan mereka menciptakan suara dentuman keras. Tidak kalah serunya, petugas ranger menyetel alunan reggae. Mereka terlihat slenge'an. Goyangkan badan ke kanan dan ke kiri. Ternyata hari ini memang kebahagiaan milik banyak orang, termasuk saya, dia, dan juga mereka.
Awkward moment when you realized things different after look at the photos |
Liat sisi jalan setapak di pinggir bukit. |
Panas beneran menyengat. Kepala saya mulai pusing karena kepanasan. Keringat membasahi kulit. Dehidrasi. Namun berjalan balik tetap semangat. Seketika makin dekat. Melihat penjual minuman sangat berarti untuk menghilangkan dahaga. Makin dekat, mencapai kesegaran di tenggorokan, sampai meneduh di Goa Celeng. Betah disana. Berinteraksi dengan orang sekitar.
Menaiki tangga kayu menuju ke lantai dua goa yang bagian dalamnya cukup lebar dan tinggi. Seperti pilar. Cahaya lampu menerangi sedikit. Ada stalaktit yang masih hidup. Goa ini cukup menarik, di lantai bagian atasnya pun cukup luas. Ada beberapa lorong gelap yang belum dapat diakses. Kami terus berjalan ke atasnya yang menembus ke parkiran. Faktanya ada total 8 atau 9 goa yang teridentifikasi disana. Baru dua saja yang dibuka untuk umum. Menariknya seluruh warga Desa Pasir bekerja bakti untuk membuka lahan wisata disana agar makin layak dan nyaman dikunjungi. Dua jempol lah buat masyarakat yang sadar wisata begini. Tentunya harus didukung sama pemerintah dan organisasi terkait agar saling kerja sama mengembangkan kemajuan daerahnya dengan tetap menjaga kelestarian lokal baik alam, budaya, dan ekosistemnya.
Dari dalam Goa Wora-Wori |
Mulut Goa Wora-Wori |
Di dalam Goa Wora-Wori |
Stalaktit Goa Wora-Wori. |
Setibanya di parkiran, kami disambut biduan lincah menyanyi dangdut. Saya bahagia berada disana. Bisa saya katakan, hari ini salah satu hari terbaik di hidup saya. Pulang membawa cerita bahagia nan panjang lebar ini. Di jalan pulang, melewati sepanjang Kecamatan Ayah, banyak wisata baru yang sebagian belum saya kunjungi. Dari Desa Pasir, ke barat, Ada Pantai Pecaron dan Bukit Silayur di Desa Srati. Lalu Grojokan dan Goa Sawangan. Pantai Menganti yang semakin bersolek. Pantai Karang Agung pun sudah melebarkan wilayah parkirnya. Wanalela dengan view Pantai Jetis di sebelah Muara. Pantai Logending dan Ayah. Saya hanya berpikir, ini bukan lagi soal Desa Wisata. Tapi Wisata Terpadu Kecamatan Ayah. Potensi yang luar biasa. Bahkan saya pernah mendengar informasi wisata air (tour) naik perahu dari Ayah ke beberapa pantai di sepanjang yang saya sebutkan. Ini sangat menarik sekali.
Back way to the parking area |
Pemandangan dari parkiran. View bagian timur. Di dekat sini ada Pantai Lampon. |
Harapan untuk kemajuan Obyek Wana Wisata Bahari Pasir Indah :
Akses infrastruktur jalan yang lebih baik lagi, karena jalan menuju parkiran belum diaspal dari arah TPI Pasir. Jalan menuju kesana diperlebar atau mungkin dibikin jalur baru. Mengingat kawasan Ayah mempunyai banyak potensi wisata dan laut yang potensial. Bukan tidak mungkin, nantinya Ayah bisa seterkenal Bali. Hanya waktu yang mampu menjawabnya. Semoga Tuhan Menghendaki. Aamiin
#KebumenKeren #VisitJateng #PesoneIndonesia #WonderfulIndonesia
Salam Pariwisata.
Akses infrastruktur jalan yang lebih baik lagi, karena jalan menuju parkiran belum diaspal dari arah TPI Pasir. Jalan menuju kesana diperlebar atau mungkin dibikin jalur baru. Mengingat kawasan Ayah mempunyai banyak potensi wisata dan laut yang potensial. Bukan tidak mungkin, nantinya Ayah bisa seterkenal Bali. Hanya waktu yang mampu menjawabnya. Semoga Tuhan Menghendaki. Aamiin
#KebumenKeren #VisitJateng #PesoneIndonesia #WonderfulIndonesia
Salam Pariwisata.
Wah....
BalasHapusSeru ya, Bahagianya pasti tidak terungkapkan.
Terimakasih