Berlanjut menuju halte pemberhentian city tour. Sembari menunggu
bis datang, kami mencipta momen dengan berfoto bersama. City Tour merupakan fasilitas
gratis bis tingkat yang dapat dinaiki wisatawan untuk mengelilingi daerah/objek
wisata di Jakarta. Terdapat banyak objek wisata yang dapat dikunjungi, antara
lain wisata sejarah, seni dan kuliner. Untuk informasi lengkapnya sila kunjungi @PT_TransJakarta.
Dari
Jalan Merdeka Selatan, bis berjalan menuju Jalan Merdeka Barat. Terlihat patung
MH Thamrin, patung kuda, Monas di kejauhan, dan lalu lalang kendaraan
berseliweran. Kemudian melewati Museum Nasional di sebelah kiri, terlihat
patung gajah di depannya. Lalu bis berjalan ke arah Kota Tua.
Di dalam
city tour, kami dijelaskan oleh guide mengenai sejarah ibukota, makna dan fakta
di masa lampau. Banyak sekali informasi yang saya dengarkan, seperti daerah
harmoni dimana dulunya tempat kaum borjouis hangout dan berdagang, dan terdapat
kanal dari arah Sunda Kelapa sampai dengan kesana yaitu sungai kecil yang ada
sekarang. Berawal dari Sunda Kelapa, Fatahillah melawan bangsa Portugis dan
merubahnya menjadi Jayakarta, lalu direbut Belanda menjadikannya Batavia,
kemudian Jepang menjajah sampai Indonesia merdeka jadilah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta.
Bis melewati
Gedung Arsip Nasional. Tahun 1995 gedung tersebut mengalami kerusakan yang parah
akibat banjir. Pengusaha Belanda di Indonesia memberikan dana untuk merenovasi
gedung tesebut dan selesai pada tahun 1998. Selesainya dipugar, Gedung Arsip
Nasional mendapat award dari UNESCO sebagai Cultural Heritage nomor satu se-Asia
Pasifik.
Belum
juga sampai di Kota, jalanan macet dipenuhi mobil-mobil. Melintasi kawasan
pecinan terbesar di Indonesia. Glodok (berasal dari kata Golodog yang artinya
pintu masuk dan dulunya disana ada air bersih mengalir berbunyi Grojok yang
artinya pancuran) sehingga daerah tersebut dikenal dengan nama Glodok Pancoran.
Jalanan makin tersendat. Plan B pun disampaikan oleh Mbak Donna, “kami
tidak berhenti lama Kota Tua”. Kami hanya memutar balik ke arah Monas kembali. Saya
memandangi momen dari atas city tour. Museum Mandiri, Museum Bank Indonesia,
lalu berbelok ke barat, melewati Kali Besar Barat, Toko Merah berjajar mobil
klasik di pelatarannya, gedung-gedung tua disana, dan wisatawan baik asing dan
domestik memadati area Kota Tua. Kami hanya berhenti sebentar untuk berfoto
bersama di depan Museum Fatahillah.
Sekilas informasi dari guide, dulunya di masa VOC, Kota Tua dibenteng
keliling, disekat dinding kota dan kanal. Penduduk pribumi yang masuk kesana
harus memakai passport. Kawasan tersebut dipenuhi dengan kanal-kanal. Terdapat pula
jembatan yang tua di sisi Utara yaitu Jembatan Kota Intan. Pada masa sekarang,
Kota Tua sedang dalam masa renovasi. Beberapa gedung sudah berhasil dipugar
untuk kemudian dijaga keasliannya.
Tujuan
wisata terakhir kami, Monumen Nasional. Kami turun di Halte Barat Monas, lalu berjalan
masuk melalui pintu barat daya. Perut mulai terasa lapar, kami pun makan
bersama disana. Pengunjung Monas cukup ramai. Terlihat booth event sedang
dipersiapkan. Untuk menuju pintu masuk Monas, disediakan mobil kereta yang siap
mengantarkan pengunjung sampai ke tepat pintu masuk menuju terowongan Monas.
Semburat
senja di atas langit. Kami memasuki Monas, berjalan menuju ruang bawah tanah,
hingga bertemu dengan petugas yang mengarahkan untuk naik ke puncak Monas. Di
ruang bawah tanah sendiri, terdapat replika atas cerita kejadian sejarah masa
lampau tentang Indonesia. Kejadian digambarkan dengan sangat jelas dalam bentuk
rupa adegan.
Untuk mencapai
puncak, pengunjung harus menaiki lift dari lantai dasar. Kami memasuki lift
secara bergantian sebanyak sepuluh orang. Petugas lift melayani pengunjung
dengan mengoperasikan lift selama naik dan turun. Katanya sih mereka berganti
tugas selama dua jam lamanya agar tidak bosan. Lift naik ke atas. Lalu terbuka.
Sudah waktu malam ternyata.
Kami keluar dengan antusias. Ini kali pertamanya saya dan sebagian dari kami menginjakkan kaki di Puncak Monas. Area puncak dipagari pembatas besi di sisi pinggir sampai atasnya. Tepat di atas situ lah pucuk emas Monas berada. Terdapat teropong di tiap sudutnya. Angin di atas benar terasa kencang. Kerlap-kerlip lampu nampak temaram. Skyline Jakarta cukup bagus malam itu.
Akhirnya
inilah final destination dari perjalanan kami seharian, Jakarta Night Journey,
menikmati malam minggu bersama di puncak monas yang romantis dan seru. Asik
rasanya berlama-lama menatap skyview Jakarta. Saya tak bosan berkeliling di
tiap sisinya. Di Timur Laut, terlihat Mesjid Istiqlal ditemani Gereja Katedral.
Mereka nampak damai dan sunyi. Memang berbeda namun mereka saling toleransi.
Inilah wajah Ibukota. Semua bisa ditemukan dan ada disini. Saya berharap
keragaman ini tidak menjauhkan, tetapi justru saling mendekatkan dan
mempersatukan. Di sisi Timur, terlihat Stasiun Gambir. Rel kereta tersusun
memanjang. Kereta listrik (commuter) yang lewat menambah keapikan momen malam
itu. Di sisi Selatan, lebih banyak pencakar langit berdiri saling meninggi satu
sama lain. Sedangkan di sisi Barat, hanya beberapa skyscrapper mengisi ruang
disana. Sementara sisi utara, lebih terlihat bangunan-bangunan yang rendah.
Saya menggunakan teropong, bangunan yang jauh terlihat dekat,
seperti hendak membidik, namun gambarnya agak sedikit blur (kabur). Malam itu, hampir
semua sibuk dengan kamera dan smartphone masing-masing untuk mengambil gambar,
selfie, dan merekam video. Sesekali berfoto wefie. Entah ungkapan apa yang lagi.
Yang jelas kami semua bahagia. Semuanya hampir sempurna.
Tidak
lama, kami menuruni puncak, dan turun menuju cawan Monas. Area ini lebih luas
untuk tempat bercengkerama satu sama lain. Kami pun mengakhiri perjalanan malam
itu. Langit Monas mulai berawan, terlihat sedikit terang dengan pantulan
temaram cahaya lampu Ibukota.
“Tulisan
ini diikutsertakan dalam Jakarta Night Journey Blog Competition oleh Indonesia Corners
(www.idcorners.com) yang disponsori oleh Asus Indonesia”
0 komentar:
Posting Komentar