Assalamua'laikum warahmatullohi wabarakatuh.
Kali ini saya ingin menuliskan sedikit opini saya mengenai sebuah tulisan opini yang sempat viral di dunia maya hingga diliput media pada tahun 2016 lalu. Ya, ketimbang tulisan ini hanya tersalin di buku catatan alangkah baiknya saya menulis ulang ke blogpost ini. Padahal mah saya belum dapat konten yang enak dituliskan untuk menambah jumlah postingan.
Oke bicara sesuatu yang viral. Sadar gak sih kalau di Indonesia, sangat mudah sekali sebuah berita atau hal yang kadang tidak terlalu penting namun viral di dunia maya hingga dapat diketahui banyak orang. Entah ini impact penggunaan gadget pada millenials era, jelasnya terkadang ada sesuatu hal yang viral atau persebaran informasi, namun tidak berisi informasi positif (bernilai guna) untuk diketahui atau bahkan terkadang hal biasa yang viral sebaiknya kita hanya cukup tahu saja agar tidak ketinggalan informasi.
Oke, ceritanya begini. Sebelumnya saya akan memulai dari apa yang paling saya syukuri hingga nafas detik terkahir ini adalah tentang takdir di mana saya terlahir di keluarga penganut Muslim, yang menjadikan saya sebagai penganut Islam hingga sekarang yang mengimani bahwa Tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Alhamdulillah Ya Allah atas takdir ini.
Kenapa saya bilang begitu. Sebab begini, dulu saya pernah berpikir menyoal hal yang sangat liberal sekali dalam kehidupan saya tentang adanya agama dalam kehidupan manusia. Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa semua agama mengajarkan hal-hal yang baik, pada intinya sama saja kita mau beragama apa. Saya tidak setuju satu hal tentang ini. Sebab dalam agama yang anut, terdapat perbedaan mendasar dalam mengimani sebuah agama dan konsekuensinya yang berlaku menyeluruh ke segala aspek kehidupan.
Jadi saya dulu pernah mengandaikan (conditional) tentang, "Jika saya dilahirkan pada keluarga non-Muslim semisal Jews atau yang lain, apakah sekarang saya masih menganut agama bawaan tersebut ?".
Lalu saya mendebat pemikiran saya soal pengandaian itu. Apa iya Tuhan sebercanda itu? Ketika saya menggunakan logika, pasti dan akan selalu mendewakan akal pikiran yang saya miliki, akan terus dan selalu menjustifikasi apa yang saya setiap terima dan alami.
Pernahkah kita berpikir tentang seberapa jauh kritik kita terhadap Tuhan? Sementara dengan akal pikiran kita yang serba terbatas, mau setinggi apapun IQ kita, sejauh apa fantasi kita. Tetap otak merupakan indera utama kecerdasan yang kita miliki pun memiliki sebuah keterbatasan. Sebagi contoh, apakah kita dapat mengingat apapun yang sudah kita alamai selama hidup dari waktu ke waktu. Tentang memori sewaktu kita kecil, tentang kenangan mendaki gunung beberapa tahun lalu, atau bahkan kegiatan kita hari ini saja dengan sedetail mungkin. Nah benar kan, betapa lemahnya otak dan akal pikiran kita.
Lalu sadarkah kita tentang batasan otak kita dengan mengkritik ketentuan-ketentuan yang sudah tertuliskan (takdir) yang dalam agama saya merupakan hak preogratif Sang Maha Pencipta di Lawh Mahfudz.
Ingat kembali tentang Qadar sebagai ketentuan mutlak Tuhan tentang kehidupan manusia dan seluruh alam yang telah digariskan, seperti kelahiran, rezeki, jodoh, dan kematian. Lalu mengenai Qodo sebagai ketentuan-ketentuan Tuhan bagi setiap manusia atas pelaksanaan Qadar ketika terjadi. Dua hal ini termasuk iman dalam Islam. Ya, ketika kita sudah mengimaninya sudah selayaknya pula kita pun bersungguh-sungguh meyakini dengan sepenuh hati kita.
"Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasulnya, mereka itu orang yang tulus hati (pecinta kebenaran) dan saksi-saksi di sisi Tuhan mereka. Mereka berhak mendapat pahala dan cahaya. Tetapi orang-orang kafir dan mendustakan ayat-ayat kami, mereka itu penghuni-penghuni neraka." Al-Hadid : 57
"Dan sesungguhnya orang-orang beriman mengikuti kebenaran dari Tuhan mereka." Muhammad : 3
Iman adalah tentang kepercayaan dan keyakinan, bahasa mudahnya dalam akal pikiran saya. Lantas sudahkan kita memiliki kepercayaan dan keyakinan setulus hati terhadap eksistensi kita di muka bumi ini. Siapa sebenarnya jati diri kita? Apa sebenarnya tujuan kita ada di muka bumi ini? Apa iya, kita hidup dimulai dengan lahir, tumbuh kembang, bersekola mengenal dunia, jalan-jalan di akhir pekan, bekerja, menikah, mempunyai keturunan lalu kemudian mati? Dengan proses yang begitu panjang pada umumnya kehidupan seseorang, tidakkah kita berpikir tentang, "Dimana kita sebelum keluar dari rahim ibu kita? dimana keberadaan kita saat tertidur? sadarkah kita? Atau ingatkah kita? Atau tentang kejadian sehari-hari yang dimulai dari sebangun tidur hingga sampai tidur kembali menjelang malam. Ingatkah kita?".
Adakah terlintas di benak hati kita yang terdalam, bahwa semuanya ada yang maha mengatur segalanya. Tentang kuasa dan kebesaran. Raja penguasa alam semesta diantara milliaran manusia di penjuru dunia yang memiliki hampir rupa dan bentuk yang sama.
Dulu ketika kecil, saya pernah memikirkan hakikat kelompok manusia yang dipimpin oleh penguasa tertinggi di dalam golongannya. Tentang sebuah kerajaan-kerajaan yang berkuasa dengan kelompok masyarakatnya hingga di galaksi lain. Saya pernah pula memikirkan tentang reinkarnasi. Jadi saya dapat menyimpulkan, otak yang berfungsi untuk berpikir memang teramat liar sebab mampu memikirkan hal-hal imajinatif semacam itu. Namun kembali lagi kepada pertanyaan saya tentang siapa sebenarnya kita di kehidupan ini? Oke. Mudah sekali menjawabnya. Siapa kita tergantung siapa orang di sekitar kita.
Tetapi bukan itu yang saya maksudkan. Siapa kita versi saya adalah akan saya jawab sebagai seorang mahluk yang disebut hamba yang dimiliki Sang Maha Pencipta Alam Semesta beserta seisi-Nya. Lalu mengapa saya ada bersama manusia-manusia lainnya adalah tentang apa yang hanya bisa kita tahu dari tuntunan kehidupan seseorang yang beragama. Saya percaya Al-Qur'an sebab kalam Allah sangat jelas sekali menyatakan tentang agama dalam QS. Asy-Syura : 13 yang artinya, "Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad saw) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama-Nya) bagi orang yang kembali (kepada-Nya)."
Hakikatnya manusia hanya diberikan sedikit waktu saja untuk mengabdikan atau menghambakan dirinya untuk Sang Khalik sesuai dengan ajaran dan tuntunan kehidupan sebagai seorang khalifah di atas muka bumi, selain diberikan kesenangan dan permainan yang menyenangkan belaka. Manusia menjalani kehidupan bagaikan sebuah ujian/cobaan sebelum kembali ke kehidupan yang kekal. Lantas dengan waktu yang sedikit saja (umumnya 60 tahun), dunia teramat sebentar seperti persinggahan sementara namun dapat melalaikan, lalu saya malu menanyakan diri saya sendiri, "sejatinya usia ini telah dihabiskan untuk apa?" Astaghfirullah.
Wassalamua'laikum .