Hello
gengs, this time I would like sharing about my experiences when I spend for 2
months in Pare. Why Pare become so interested as a place for learning another
language, especially English. My goal for going to Pare is strengthening my
English skill at all. You know gengs that my moms asked me “why so far? Is not
here you can take courses too? What is everyone like seller there speaking in
English?” I just answer, “I think it will different when I learn in Pare,
because many people coming from everywhere. And not everyone, but when in
courses area maybe”. Finally, I booked a grammar course via website and also
train ticket for the transport.
Oke,
kayaknya lebih enak bahasa Indonesia. Satu paragraph di atas cuma sebatas
pencitraan aja. Wkwk. Jadi ekspektasi saya pun tidak terlalu banyak, tetapi ada
banyak sekali yang saya dapatkan sepulang dari Pare. Waktu selama dua bulan bagi saya
cukup terlalu singkat untuk mengkhatamkan bahasa internasional hingga level
advanced. Padahal tujuan awal saya kesana ingin belajar IELTS, tapi saya mengambil kursusan dari level dasar jadi rasanya kurang banget.
Dimulai
keberangkatan pada awal bulan Desember 2017, perjalanan pertama saya dari Pwt
menuju Jogja naik kereta Joglokerto . Disana transit dua hari, emang niatnya
mau eksplore beberapa candi di Jogja. Prinsip sekali dayung dengan dua tiga
pulau terlampaui, memang sering saya lakukan dalam kehidupan. Dari Jogja saya
menuju ke Kediri naik kereta Kahuripan, kereta baru berangkat sekitar pukul 2
dinihari dan sampai di Kediri sekitar jam 7 pagi. Dari Stasiun Kediri, ada tiga
opsi: naik angkot, naik kendaraan yang mangkal depan stasiun 60 ribu per orang,
dan saya malah pesen gocar tarifnya 70ribu. Enaknya lagi sih kalau datang ke
Pare sendirian, nyari temen di Stasiun yang mau ke Pare juga baru pesen gocar
biar lebih irit, prinsip sharecost! Pas mesen gocar, kita harus jalan dulu agak
jauh ke jalan depan stasiun soalnya kecemburuan sosial era digital ini cukup
menjadi gap yang mau tidak mau ya bakalan terjadi. Bahkan, di stasiun Pwt
sendiri ada yang pernah dipalak sama orang sekitar disuruh bayar 250 ribu sama ojek
di stasiun, dan itu dialami sama ojol yang anter ke stasiun. Regulasi digital
memang rasanya sudah urgent banget nih. Kan kasian kalo masalah ini
berlarut-larut.
Dari
stasiun ke Pare sekitar 45 menit. Jalanan kota Kediri cukup lengang. Kami
melewati Gumul lalu mengarah ke utara dengan ruas jalan cukup lebar. Pada sisi kiri
jalan terdapat bekas jalur rel zaman Belanda. Sepanjang jalanan, banyak areal
perkebunan tebu dan sawah. Peninggalan Belanda dengan hasil komoditas gula
sendiri masih beroperasi di Kediri yang sekarang dikelola PTPN.
Sampai
di gerbang Desa Tulungrejo, lokasi di mana Kampung Inggris berada. Saya menuju
ke Jalan Aster kos-kosan yang sudah saya booking. Tak dinyana, ibu pemilik
kosan mengkonfirmasi kalau kosnya hanya kosong seminggu seharga 150 ribu. Kos
tingkat dua ini terbilang mahal. Jadi
sebaiknya, ketika kalian datang ke Pare, lebih enaknya cari kos-kosan di TKP
langsung karena biar bisa compare harga dan mengukur kenyamanan kos-kosan untuk
ditinggali. Jadi kemarin saya cari info di internet, karena takut penuh
musim liburan akhirnya saya langsung deal-kan saja untuk stay di kosan itu. Toh
saya masih buta informasi. Di depan kosan itu juga terdapat warung makan dan
tempat sewa sepeda, jadi pikir saya cukup strategis. Sewa sepeda seharga 80ribu
sebulan. Sekali makan rentang harga 8ribu hingga 12 ribuan.
Dua
hari pertama, saya belum mendapat teman akrab disana. Hanya beberapa teman baru
di kosan yang sebagian mereka juga baru datang atau baru menetap dua minggu.
Sekedar obrolan basi-basi ketika berpapasan hingga sharing tentang kursusan.
Satu
bulan pertama, saya mengambil kelas E-Fast 1A di Elfast. Kelas ini mengajarkan
tentang grammar seperti tenses yang sudah saya pelajari sekian lamanya dan
materi Part of Speech (POS). Jadwal kelas setiap harinya ada 5 kelas, terdiri
dari 4 kelas grammar dan 1 kelas speaking durasi 1,5 jam. Alasan saya mengambil
kelas ini adalah untuk bekal dasar sebelum mengambil kelas lanjutan sekaligus
refreshment materi.
Hari
pertama masuk kursus, kelas pertama pukul 5.30 selepas subuh. Dua kelas
berikutnya pukul 7 hingga 10.30 pagi.
Lalu kelas speaking pukul 12.00 selepas dzuhur. Kemudian kelas terakhir
pukul 4 sore. Tutor saya di kelas adalah Mr. Ilyas asalnya dari Gorontalo, Ms.
Dian dari Bengkulu, dan Mr. B orang Surabaya yang dulunya adalah seorang chef.
Jadi tutor di Kampung Inggris, beberapa dari mereka ya dulunya juga pembelajar
yang datang untuk belajar ke Pare.
Bangun
pagi, sholat, mandi, lalu mengayuh sepeda ke tempat kursus sekitar 10 menit
adalah kesibukan setiap Senin hingga Jum’at yang saya lalui. Kelas pagi pertama
dirasa cukup berat, karena mata masih mengantuk, meski otak lagi fresh. Materi
pembelajaran masih enteng di minggu awal. Minggu kedua, kami diajarkan tenatang
tenses. Minggu ketiga masuk ke BP2, dan minggu ke empat berakhir begitu cepat materi akhir POS.
Di
kelas ini saya mendapat teman baru dari mana-mana. Ada Ken dari Aceh yang
selalu duduk di depan, Marikh dari Jkt biasanya dia duduk sebelah Ken, terus
Aqwam yang termuda dan polos kek bakso dari Sidrap, Adi Akbar dari Makassar,
Kak Ida sekarang di Gorontalo, Laya dari Jakarta, Delfi orang Majalengka tapi
ngakunya orang Bandung, Bang Aldi orang Bandung juga, terus ada Bang Budi orang
Jkt juga, Khotim dari Ponorogo, Zul wong Tegal, Edo orang yang di kelas sok
cool terus sok kalem dari Jambi, siapa lagi ya? Oh si Erdin Selayar sama
sohibnya si Rian yang paling diem di kelas. Ada Ceppy dan Putra juga dari Bandung.
Sandu asal Lombok. Yusron dari Bekasi, dll yang tidak disebutkan karena cuma
sebentar di kelas jadi lupa namanya.
Satu
bulan berinteraksi dengan mereka di kelas selama lima pertemuan membuat rasa kekeluargaan itu muncul. Kadang kami banyak menghabiskan
banyak waktu luang bareng-bareng. Makan bareng di Bonbin, ngetansu, ke CFD,
renang, sepedaan ke Candi Surowono, jalan Ke Bromo, Ke Ijen, Ke Festival Durian
di Jombang, belajar bareng di Kilisuci, ngopi di kafe, makan di angkringan. Ya
sebulan itu sama mereka terus, lagi, dan lagi. Keintiman sebulan bareng mereka
memberi kesan selama masa perkursusan di Pare. Bahkan saat beberapa ada pulang,
kek ngerasa kehilangan aja gitu. Ya people come and go. Mau gak mau. Ya harus
mau. Toh sudah rumusnya begitu.
Pada
bulan kedua, saya mengambil kelas speaking di Daffodils, kelas writing dan
translation di Elfast. Di periode ini, jadwalnya 6 kelas sehari. Lebih padat
dari bulan pertama. Belajar writing dan translation diajarkan Ms. Santi, Mr.
Son dan Mr. Andre cukup menambah pengetahuan saya dalam stuktur penulisan dalam
Bahasa Inggris. Kelas ini pengembanagan dari kelas yang saya ambil dari bulan
sebelumnya. Buku level advanced ‘American History’ menjadi santapan di kelas
translation. Di kelas ini diajarkan bermain intuisi tetapi harus tetap menjaga
meaning dari sebuah tulisan. Di kelas ini saya mengerti, bahwa perbedaan
struktur penulisan Indonesia dan Bahasa Inggris sangat ketara sekali. Satu
bulan belajar di kelas ini, tingkatan writing cukup baik. Sedang translation,
saya rasa masih kurang, sebab pemahaman vocab advanced membuat kesulitan
pemahaman dalam sebuah tulisan. Sedang di Daffodils saya diajar oleh Ms.
Agustin. Cara mengajarnya cukup menarik bagi saya karena saya dituntut memahami
vocab baru, pronunciation, dan grammar dalam speaking. Kelas ini cukup efektif
meski sampai akhir kelas tinggal beberapa orang yang tersisa. Dari belasan
hanya tinggal tujuh orang.
Sistem
pembelajaran di Pare dalam pandangan saya, apa yang berbeda adalah tentang
lingkungan dan lingkaran. Maksudnya adalah durasi intens belajar bahasa
diantara orang-orang yang juga ingin meraih tujuan yang sama, jadi kayak nyaman
dan asik aja gitu. Ditambah sistem pengajaran di Elfast yang menuruk saya
berbeda dari apa yang saya pelajari di sekolahan. Materinya padat, tapi cara
mengajarnya mudah untuk dipahami. Kalau menyoal pemahaman tergantung individunya apakah sering
mengulang atau mereview materi yang diajarkan. Memang ada ujian atas materi
yang diajarkan untuk mengetahui pemahaman. Cuma bagi saya proses lebih penting
dibandingkan hasil, terlebih ini pendidikan formal di mana pembelajar tidak
dituntut untuk berhasil tetapi setidaknya paham akan materi yang diajarkan.
Oya
di Pare sendiri ada banyak lembaga kursus bahasa yang gak melulu Bahasa
Inggris, tapi ada Arab, Korea, Mandarin, dan lain-lain. Memilih tempat kursus
yang memiliki kredibilitas dan berkualitas merupakan hal terpenting. Setidaknya
kita harus tahu keunggulan yang ditawarkan oleh kursusan yang akan kita
pelajari. Jangan sampai setelah kita belajar berbulan-bulan, tetapi ketika
pulang tidak mendapat hasil apa-apa. Penting juga bagi kita menentukan capaian
apa yang ingin diraih, apakah sebatas jago speaking, TOEFL, IELTS, dan
sebagainya. Memang semuanya berbalik lagi ke diri kita masing-masing.
Tujuan
orang datang ke Pare pun beda-beda. Ada yang memang mau belajar, ada yang
pengen jalan-jalan, ada yang mengisi waktu liburan dengan belajar hal baru dan
kemandirian, ada yang penelitian, dan lain-lain. Bahkan durasi mereka datang
ada yang paling minimal dua minggu hingga berbulan-bulan tidak pulang. Kalau
saya sendiri merasa betah namun dengan aktivitas yang padat. Karena tidak semua
pembelajar memiliki jam kursus yang padat dalam sehari, tergantung kemampuan
dan motivasi masing-masing individu.
Banyak
operator tour yang menyediakan paket murah ke tujuan wisata. Maka tidak heran,
ketika akhir pekan, Pare cenderung sepi karena banyak pembelajar yang
refreshing atau jalan-jalan entah kemanapun. Kafe dan tempat nongkrong pun cukup menjamur
disana. Maka tepat ketika Pare saya sebut juga sebagai tempat berlibur. Godaan liburan
bahkan menjadi satu-satunya tantangan ketika kalian mengambil kursus disana.
Terlebih bagi mereka yang dari luar Pulau Jawa,. Mengunjungi berbagai tempat
wisata adalah satu hal kesempatan yang harus dicoba. Sekali mendayung, dua tiga
pulau terlampaui lah.
Oke sekian saja yang ingin saya share tentang
#LifeinPare , meski masih banyak lagi cerita yang belum tersampaikan, insyaa allah di tulisan selanjutnya. Pesan saya untuk kalian
yang akan kesana, gali dan cari informasi sebanyak-banyaknya tentang
lembaga kursus (yang terutama) agar kalian membawa hasil ketika selesai belajar
disana. Lalu terkait tempat tinggal, kalian bisa menyesuaikan apakah akan tinggal
sendiri (ngekos) atau nge-camp (sepaket dengan lembaga kursusnya). Untuk kos-kosan
kalian bisa cari yang murah sesampaintya di Pare. Tenang disana ada banyak
banget sewa kos-kosan. Mau yang sharing seperti di camp atau dengan fasilitas
kayak hotel bintang 3 juga ada. Atau tidak mau ribet, ya booking sekalian tempat
camp di lembaga kursus. Disini kelebihannya kalian dapat program dari lembaga
seperti speaking, skoring toefl, dan sebagainya.
Sekian, Wassalamualaikum.