Sayang sekali kalau tidak diceritakan. Ini cerita lama (Desember
2018 lalu sih, semoga masih relevan ya). Sungguh memang susah sekali untuk
sesegera mengulas cerita perjalanan sekembalinya pulang, kan harusnya fresh
from the oven ya.
Udara Rangkas cukup menyengat. Perut pun sudah keroncongan. Sudah beberapa kali kami melewati warung makan. Tapi tidak berhenti mampir. Kaki masih terus jalan. Hingga pertigaan depan Bank BRI, ada warung padang bertuliskan Serba Rp 10.000 di depan kaca pajangnya. Bahasa marketing sekali bukan? Ya barang tentu kami langsung masuk dan makan disana. Beruntungnya pula, ibu penjualnya baik hati. Kami minta tolong untuk numpang ngecas gawai sembari makan siang dirapel makan pagi. Terima kasih ya bu. Semoga laris manis rezekinya.
Kami lanjut menyusuri trotoar sekitaran kota. Kurang layak ruang pejalan kakinya. Mungkin akunya saja yang terlalu menginginkan trotoar itu musti lebar dan nyaman digunakan kali ya. Kenyataannya negara ini sudah dimanjakan dengan transportasi hasil revolusi industri. Mau bagaimana lagi? Padahal jalan kaki itu seru loh. Apalagi kalau trotoarnya nyaman, seperti di Jalan Sudirman sekarang. Oke lanjut.
Berikut ulasan trip singkat saya selama di Rangkasbitung:
1. Masjid Agung Al-A'raaf
2. Alun-alun
Keluar dari masjid, kami menyebrang ke alun-alun. Sama seperti alun-alun di banyak kota-kota di Jawa. Bedanya, tidak ada pohon beringin di area tengahnya. Pohon berdaun rindang hanya tumbuh di pinggirannya saja. Terdapat tulisan Alun-Alun Rangkasbitung mengarah ke Jalan Multatuli. Di dekat situ, terdapat warung kaki lima yang bisa kita coba. Menjual aneka makanan dan minuman.
Berbalik arah ke pertigaan Jalan Kejaksaan. Lalu berbelok ke Jalan R.T. Hardiwinangun. Rumah pertama tepat sebelah kiri. Kami sudah di depan Multatuli Huis. Rumah bercat putih dengan selasar kecil. Sayang sekali rumah ini dipagar dan terkunci gembok sehingga kami tidak bisa masuk ke area dalam. Rumahnya pun kosong. Rerumputan tumbuh liar di halaman. Batang pohon menjulur ke bawah, entah pohon rindang apa yang tumbuh di sisi kanan luar rumah.
4. Makam Pahlawan Sirna Rana
Memang saya harus berterima kasih kepada kaki. Yang terus kuat melanglang buana. Yang tetap melangkah walaupun lelah. Yang terus berjalan entah kemana.
5. Museum Multatuli
Berlanjut ke Jalan Watanpra, lalu berbelok ke Jalan R.M. Nata Atmaja. Bangunan pertama sebelah kanan ialah bekas kantor dan kediaman Wedana Lebak yang dibangun 1920.
Museum ini tidak hanya berisi tentang kisah Douwes Dekker dan bukunya. Tetapi banyak ulasan sejarah kolonisasi, sejarah tentang Lebak, Rangkasbitung dan Banten. Memasuki ruang utama, kita akan melihat foto WPAP Mutlatuli dengan tulisan "Tugas Manusia Adalah Menjadi Manusia". Lalu masuk ke lorong diorama kopi dan rempah-rempah. Terdapat alat giling kopi tradisonal. Terdapat pula hibah dari Museum Multatuli yang ada di Amsterdam, yakni litografi dan ubin bekas kediaman Multatuli, novel Max Havelaar berbahasa Perancis terbitan 1868, serta peta Rangkasbitung zaman dulu.
6. Perpustakaan Saidjah Adinda
Bersebelahan dengan museum, kami bergeser ke perpustakaan. Belum beruntung, jam kunjungan sudah tutup saat kami masuk kesana. Bangunan perpustakaan ini berbentuk lumbung padi (leuit). Kami sempat masuk ke dalam setelah izin ke petugas pelayanan untuk melihat sejenak. Koleksi bukunya cukup banyak. Ruangannya bersih dan rapi. Dengan meja baca yang cukup banyak. Ada ruang belajar juga. Kabar baiknya, perpustakaan ini memiliki akses untuk difabel (jalur kursi roda). Patut diacungi jempol kan.
6. D'Vara Cafe
Perjalanan kami tutup dengan makan malam di kafe ini. Kami memesan kentang goreng, pisang coklat, lemon tea dan jus mangga. Cukup ramai pengunjungnya kala senja itu. Menu makanannya cukup beragam. Ada live-music pula di lantai dua.
Berkunjung seharian di Rangkasbitung pun usai. Kami kembali ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan ke Banten Lama. Kami menaiki kereta ekonomi menuju ke Serang pukul 8 malam. Harga tiketnya Rp4.000 saja. Tiketnya hanya bisa dibeli di stasiun langsung.
Okelah, kali ini ku sempatkan untuk memulai ceritaku saat jelajah
wisata di Banten. Kalian tahu kenapa aku berkunjung kesana? Ya. Tidak lain
adalah untuk menggenapi kunjungan ibukota provinsi yang ada di Pulau Jawa.
Banten adalah kota terakhir. Sebelumnya ke Semarang, Bandung, Surabaya,
Jogjakarta, dan tentu Jakarta. Alasan lain adalah jarak. Lumayan dekat dengan
Jakarta, sehingga bisa dijangkau saat akhir pekan.
***
Perjalanan dimulai dari Stasiun Tanah Abang pukul 9 pagi. Saya
bersama Agus (kawan ekspedisi) naik KRL menuju ke Stasiun Rangkasbitung. Waktu
tempuh dengan KRL 2 jam lamanya. Penumpang kereta ramai. Awalnya kami dapat
kursi. Nah mulai masuk Stasiun Serpong, semakin banyak penumpang. Akhirnya
mengalah untuk orang yang lebih membutuhkan. Ya, saling berbagi itu baik kan.
Sampailah kami di Stasiun Rangkasbitung pukul sebelas. Kemudian
keluar stasiun dan berjalan kaki menuju ke pusat kota. Tanpa itinerary,
hanya membaca referensi dari Mbah Gugel dan ditemani Kang Maps. Dari peta yang
kami baca, jarak menuju Alun-alun hanya sekitar 1,4km saja. Sangat dekat bukan?
Dan mengapa kami menuju ke arah sana? Kamu akan menemukan jawabannya di
paragraf kedua setelah ini.
Udara Rangkas cukup menyengat. Perut pun sudah keroncongan. Sudah beberapa kali kami melewati warung makan. Tapi tidak berhenti mampir. Kaki masih terus jalan. Hingga pertigaan depan Bank BRI, ada warung padang bertuliskan Serba Rp 10.000 di depan kaca pajangnya. Bahasa marketing sekali bukan? Ya barang tentu kami langsung masuk dan makan disana. Beruntungnya pula, ibu penjualnya baik hati. Kami minta tolong untuk numpang ngecas gawai sembari makan siang dirapel makan pagi. Terima kasih ya bu. Semoga laris manis rezekinya.
Kami lanjut menyusuri trotoar sekitaran kota. Kurang layak ruang pejalan kakinya. Mungkin akunya saja yang terlalu menginginkan trotoar itu musti lebar dan nyaman digunakan kali ya. Kenyataannya negara ini sudah dimanjakan dengan transportasi hasil revolusi industri. Mau bagaimana lagi? Padahal jalan kaki itu seru loh. Apalagi kalau trotoarnya nyaman, seperti di Jalan Sudirman sekarang. Oke lanjut.
Bangunan tua masih tersisa beberapa disana. Jadi Rangkas dulunya
sebagai pusat pemerintahan Hindia Belanda di Kabupaten Lebak. Kisah menarik
disini adalah tentang seorang kompeni yang berpihak kepada pribumi atas
nilai-nilai kemanusiaan saat VOC menguasai Banten. Bernama Eduard Douwes Dekker
atau lebih dikenal dengan Multatuli. Pasti kalian pernah tahu nama ini kan?
Pendiri Indische Partij, yang dikenal Tiga Serangkai itu loh. Nah, untuk
mengenang kisahnya saat menjadi Asisten Residen di Lebak. Pemda Lebak pun
membuka Museum Multatuli di seberang Alun-Alun Rangkasbitung. Inilah alasah
kenapa saya tertarik berkunjung kesana.
Berikut ulasan trip singkat saya selama di Rangkasbitung:
1. Masjid Agung Al-A'raaf
Sehabis makan, kami menuju ke masjid untuk sholat. Bangunan
Al-A'raaf lumayan megah. Ruang utama shafnya sangat lapang. Terdapat di lantai
dua. Bangunan ini memiliki eksterior dinding keramik berukuran besar. Sedang
interiornya cukup sederhana. Bercat biru muda polos. Hanya hiasan kaligrafi
pada bagian mihrabnya. Masjid ini memiliki atap limas pada bagian tengahnya.
Memasuki pintu utama yang dapat diakses melalui tangga dari sisi jalan bagian
barat alun-alun. Ada satu menara masjid beratap runcing bertuliskan الله. Tentu masjid ini menjadi tempat ibadah yang tidak bisa kamu
lewatkan kalau berkunjung kesana.
2. Alun-alun
Keluar dari masjid, kami menyebrang ke alun-alun. Sama seperti alun-alun di banyak kota-kota di Jawa. Bedanya, tidak ada pohon beringin di area tengahnya. Pohon berdaun rindang hanya tumbuh di pinggirannya saja. Terdapat tulisan Alun-Alun Rangkasbitung mengarah ke Jalan Multatuli. Di dekat situ, terdapat warung kaki lima yang bisa kita coba. Menjual aneka makanan dan minuman.
Suasana sekitaran alun-alun cukup sepi. Kondisi jalan pun cukup
lengang. Tidak banyak kendaraan lalu lalang. Terasa plong. Masih ada andong lewat juga loh disini.
3. Bekas Rumah Multatuli
Berbalik arah ke pertigaan Jalan Kejaksaan. Lalu berbelok ke Jalan R.T. Hardiwinangun. Rumah pertama tepat sebelah kiri. Kami sudah di depan Multatuli Huis. Rumah bercat putih dengan selasar kecil. Sayang sekali rumah ini dipagar dan terkunci gembok sehingga kami tidak bisa masuk ke area dalam. Rumahnya pun kosong. Rerumputan tumbuh liar di halaman. Batang pohon menjulur ke bawah, entah pohon rindang apa yang tumbuh di sisi kanan luar rumah.
Sayang sekali. Akan lebih baik jika rumah peninggalan ini
dijadikan museum atau diperuntukkan komersial. Kan kalau terawat, historisnya
terjaga, membuktikan kalau kita benar-benar tidak melupakan sejarah bangsanya.
Seperti apa kata Bung Karno.
4. Makam Pahlawan Sirna Rana
Memang saya harus berterima kasih kepada kaki. Yang terus kuat melanglang buana. Yang tetap melangkah walaupun lelah. Yang terus berjalan entah kemana.
Kami terus melangkah melewati Dinpar. Sebelahnya persis, tangki
air usang menjulang di area makam. Kami pun mampir ke makam itu. Menaiki anak
tangga dari sisi atas karena letaknya di tanah berbukit. Kami masuk dari area
pemakaman umum. Dari situ hanya melihat-lihat pusara yang berjejer rapi.
Makam Pahlawan Rangkas cukup sempit. Semuanya disemen seragam
bercat warna hijau dengan helm tentara di setiap makamnya. Terima
kasih dan doa untuk para pahlawan kita yang gugur disana.
5. Museum Multatuli
Berlanjut ke Jalan Watanpra, lalu berbelok ke Jalan R.M. Nata Atmaja. Bangunan pertama sebelah kanan ialah bekas kantor dan kediaman Wedana Lebak yang dibangun 1920.
Setelah direnovasi sesuai bentukan aslinya, kini difungsikan
sebagai Museum Pemerintah Kabupaten Lebak. Museum Multatuli diresmikan pada Mei
2017 lalu. Mengangkat nama Multituli sebagai penulis Max Havelaar yang
dituliskan oleh Eduard Douwes Dekker saat menjabat sebagai Asisten Residen
Lebak pada Januari hingga Maret 1856. Ia hanya menjabat selama 82 hari
saja. Namun, ia menerbitkan karya novel mendunia yang
diterbitkan pertama kali 1860 di Eropa. Ia menuliskan penderitaan pribumi
akan sistem tanam paksa (kolonialisme).
Multatuli memang peranakan kompeni, tetapi ia lebih pro kepada
pribumi sebab nilai-nilai kemanusiaan. Ia menginginkan Hindia untuk Hindia.
Sampai-sampai ia menolak sistem tanam paksa dengan menggulirkan politik etis
untuk kesejahteraan pribumi.
Museum ini tidak hanya berisi tentang kisah Douwes Dekker dan bukunya. Tetapi banyak ulasan sejarah kolonisasi, sejarah tentang Lebak, Rangkasbitung dan Banten. Memasuki ruang utama, kita akan melihat foto WPAP Mutlatuli dengan tulisan "Tugas Manusia Adalah Menjadi Manusia". Lalu masuk ke lorong diorama kopi dan rempah-rempah. Terdapat alat giling kopi tradisonal. Terdapat pula hibah dari Museum Multatuli yang ada di Amsterdam, yakni litografi dan ubin bekas kediaman Multatuli, novel Max Havelaar berbahasa Perancis terbitan 1868, serta peta Rangkasbitung zaman dulu.
Sangat menarik sekali dapat berkunjung ke museum ini. Kita bisa
tahu jejak sejarah apa yang tertambat di Banten. Sedang di halaman luar,
terdapat patung Multatuli sedang duduk di kursi memegang dan membaca buku.
Apakah ia sedang membaca bukunya sendiri?
6. Perpustakaan Saidjah Adinda
Bersebelahan dengan museum, kami bergeser ke perpustakaan. Belum beruntung, jam kunjungan sudah tutup saat kami masuk kesana. Bangunan perpustakaan ini berbentuk lumbung padi (leuit). Kami sempat masuk ke dalam setelah izin ke petugas pelayanan untuk melihat sejenak. Koleksi bukunya cukup banyak. Ruangannya bersih dan rapi. Dengan meja baca yang cukup banyak. Ada ruang belajar juga. Kabar baiknya, perpustakaan ini memiliki akses untuk difabel (jalur kursi roda). Patut diacungi jempol kan.
Demi mewujudkan gerakan literasi menuju Indonesia emas memang
harus membuat perpustakaan menjadi tempat yang bisa diakses siapapun dengan
nyaman, aman dan betah untuk lama-lama disana.
6. D'Vara Cafe
Perjalanan kami tutup dengan makan malam di kafe ini. Kami memesan kentang goreng, pisang coklat, lemon tea dan jus mangga. Cukup ramai pengunjungnya kala senja itu. Menu makanannya cukup beragam. Ada live-music pula di lantai dua.
Letak kafe ini di dekat bekas kediaman Multatuli. Ruang
interiornya cukup berwarna. Pernak-pernik di dinding. Lukisan. Lampu gantung.
Enaknya ada sofanya juga, jadi empuk kan kalau nongkrong lama-lama. Hehehe.
Lumayan rekomen lah kafenya.
Berkunjung seharian di Rangkasbitung pun usai. Kami kembali ke stasiun untuk melanjutkan perjalanan ke Banten Lama. Kami menaiki kereta ekonomi menuju ke Serang pukul 8 malam. Harga tiketnya Rp4.000 saja. Tiketnya hanya bisa dibeli di stasiun langsung.
Sekian ulasan destinasi yang ada di Rangkas. Semoga bisa balik lagi kesana,
karena kaki tangan rizkichuk belum sampai ke Baduy.
Oh ya baca lanjutan perjalanan Banten disini:
wih, mantap nih....next aku harus kesana
BalasHapus