Situ Gunung saat diguyur hujan gerimis, syahdu |
Halo kawan-kawan semua. Kali ini saya ingin berbagi cerita mengapa saya pergi berlibur ke Sukabumi? Alasannya tidak lain, dekat dengan Jakarta yang tidak menyita waktu banyak. Pun Sukabumi mempunyai banyak destinasi yang patut dikunjungi. Sebenarnya saya tertarik dengan Kampung Tradisional Ciptagelar sejak lama, selain ke Geopark Ciletuh dan Situ Gunung.
Inilah jadwal yang saya buat sebelum berangkat. Jadi kami sudah menyewa motor di kota dan penginapan selama dua hari disana. Oh ya, saya pergi bersama teman kantor saya, Mades.
Inilah jadwal yang saya buat sebelum berangkat. Jadi kami sudah menyewa motor di kota dan penginapan selama dua hari disana. Oh ya, saya pergi bersama teman kantor saya, Mades.
Sabtu, 13 April
|
Kegiatan
|
04.30 - 05.00
|
OTW ke St. Tanjung Barat
|
05.32 - 06.30
|
OTW ke St. Bogor by KRL
|
07.50 - 10.00
|
OTW ke St. Sukabumi
|
10.30 - 11.30
|
Keliling Kota (Kulineran)
|
11.30 - 12.30
|
OTW Ke Situgunung
|
12.30 - 17.00
|
Jembatan Gantung, Curug Sawer, Danau
Situgunung
|
17.00 - 19.30
|
OTW Ke Penginapan Mahessa Indah
|
Minggu, 15 April
|
Kegiatan
|
05.00 - 06.49
|
Bangun, siap2 jalan ke Ciptagelar
|
07.00 - 09.00
|
Kampung Adat Ciptagelar
|
09.00 - 10.30
|
OTW Ke Geyser Cisolok
|
10.30 - 11.30
|
Geyser Cisolok
|
11.30 - 13.00
|
OTW Curug Cimarinjung
|
13.00 - 14.00
|
Curug Cimarinjung
|
14.00 - 15.45
|
OTW Curung Awang
|
15.45 - 16.45
|
Curug Awang
|
16.45 - 17. 30
|
OTW Puncak Darma
|
17.00 - 18.00
|
Sunset Puncak Darma
|
18.30 - 21.00
|
OTW Vermisse Guest House
|
05.15 - 07.18
|
Pulang Ke St. Bogor
|
Kami berangkat dari mess kantor selepas subuh. Sekitar jam setengah enam
pagi. Dari St. Tanjung Barat dilanjut naik KRL ke St. Bogor. Sampai di Bogor
sudah hampir pukul delapan. Ada kereta ekonomi sedang bersiap-siap di salah
satu peron.
Saya menanyakan ke petugas. Tak dinyana, Stasiun Paledang itu ada di
seberang stasiun pemberhentian KRL. Jadi dua stasiun ini beda lokasi. Deg-degan
dong. Terburu-buru kami langsung lari keluar stasiun, naik JPO dan turun lagi
menuju kesana. Di atas JPO, saya melihat kereta sudah melintasi perlintasan
sebidang dari Stasiun Bogor. Saya memacu lari lebih cepat lagi.
Ngos-ngosan betul. Untung masih beruntung, sistem tiketnya mengalami
gangguan sehingga antrean di pintu masuk masih disesaki penumpang. Setelah lima
menit, kami sudah berada di atas kereta yang juga langsung berangkat terlambat pukul
8 pagi.
Pemandangan di sekitaran cukup menarik. Rumah-rumah di atas perbukitan. Aliran
sungai dan gunung-gunung. Bentang alam persawahan
yang tampak dari jendela kereta. Jarak selama dua jam, tibalah kami di Stasiun
Sukabumi. Perjalanan yang cukup singkat sekali bukan. Ehm tunggu kawan.
Beginilah cerita destinasi yang ada di Sukabumi kami mulai.
1. Jembatan Gantung Situ Gunung
Potret jembatan terpajang di Asia Tenggara |
Jarak tempuh dari stasiun sejauh 15 kilometer menuju ke utara. Dengan mengendarai
motor yang sudah kami sewa dan berbekal aplikasi penunjuk arah. Nah jadi gini
kawan, gak enaknya pakai Gmaps itu kadang alternatif jalan yang dipilih gak
selamanya benar juga. Sama seperti yang kami alami, penunjuk arahnya malah
melewati jalan pedesaan berkontur naik turun. Sebagian jalanan rusak, justru
memperlama waktu tempuh. Sudah hampir satu jam, kami belum juga sampai. Mades
masih fokus menarik gas motor. Tersisa sekian kilometer, hujan menyambut
kedatangan kami. Hujan membasahi bumi sangat deras. Kami berhenti di bengkel
seberang Kantor Desa Gede Pangrango. Menunggu hujan reda.
Jembatan Gantung Situ Gunung merupakan jembatan gantung terpanjang di Asia
Tenggara. Berada di dalam kawasan TN Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Sukabumi,
Jawa Barat. Jembatan ini membentang sepanjang 243 meter, dengan lebar 1,8
meter, sedang ketinggiannya mencapai 161 meter. Sebagai informasi pula, jembatan
ini dibangun hanya dalam waktu empat bulan saja loh. Dilakukan penduduk lokal
dan tim ahli dari Bandung. Tanpa menggunakan alat berat konstruksi alias dibuat
secara manual.
Sampainya kami disana, kabut tebal melingkupi ruang atas kawasan tersebut.
Memasuki Taman Nasional, pengunjung harus membayar tiket sebesar Rp18.500 saat
akhir pekan. Kemudian untuk melewati jembatan gantung, kita harus membeli tiket
lagi seharga Rp50.000. Sebenarnya pengunjung bisa melalui jalur darat untuk
menuju ke Curu Sawer tanpa melewati jembatan gantung.
Dengan harga tersebut, kita mendapat jajanan tradisional seperti pisang, singkong
rebus, dan minuman hangat, yang bisa dinikmati di area teater. Sembari menonton
pertunjukkan seni tradisional yang dipentaskan. Saat kami kesana, orang memakai
topeng menari-nari diiringi alat musik nuansa Sunda. Lalu pengunjung ada pula
yang ikut menari di atas panggung.
Untuk melewati jembatan gantung, kita akan diberikan safety harness. Tiket
masuk akan dicek terlebih dahulu. Menginjakkan kaki di atasnya, otomatis
goyangan jembatan lumayan terasa. Bertapak kayu pada dasarnya, lalu pagar
pembatas terbuat dari kawat hampir setinggi 1,5 meter pada sisi kanan kirinya,
dengan kawat baja yang mengait ke sling baja sebagai batang penggantung.
Sangat tinggi sekali jika melihat ke bawah. Dasarnya pun tidak terlihat.
Sebab dedaunan menutup rapat. Ya betul, pohon-pohon hijau tropis sangat lebat
tumbuh subur. Sisa kabut di antara perbukitan masih nampak seputih awan. Sangat
alami sekali pemandangannya. Serba hijau, ah alam memang selalu mempesona.
2. Curug Sawer
Pesona Curug Sawer yang menjadi sorotan pengunjung TNGGP |
Tidak jauh dari
lokasi jembatan, kami menyusuri jalan tanah setapak. Sebagian ada yang berbatu.
Melewati area perkemahan/glamping. Menyebrangi jembatan bambu. Turun terus sampai
ke bawah. Memutari area warung. Berjalan terus sampai ke ujung. Pepohonan masih
banyak ditemui di sekitaran. Jarak menuju curug dari pintu masuk sejauh 1,7
kilometer, namun terpangkas 500 meter karena melewati jembatan. Kurang lebih
membutuhkan waktu hampir 15 menit dari jembatan.
Sampailah kami di
aliran sungai di mana Curug Sawer berada. Memiliki ketinggian 35 meter dengan
elevasi 1025 mdpl. Aliran airnya kecil pada hulunya, jatuh deras membuyar ke
bawah. Genangan air di bawahnya berwarna coklat sebab sehabis hujan. Batu-batu
besar mengumpul di sebelah kiri. Ya, ada jembatan kecil di dekat curug ini.
Sebagian pengunjung menikmati curug ini dari titik tersebut.
3. Situ Gunung
Situ Gunung dikelilingi pepohonan yang tumbuh subur di TNGGP |
Untuk sampai ke danau ini, kita bisa menuju ke lokasi parkiran yang
berjarak 600 meter dari pintu gerbang. Dari tempat parkir, kita bisa berjalan
kaki melewati jalan beton sejauh 500 meter. Jalanan menurun. Danaunya ada di
bawah sana.
Sampai di bawah, awan pekat dibumbui kabut yang tampak di atas pepohonan
membuat suasana menjadi syahdu sekali. Hanya tersisa sedikit pengunjung yang
ada disana. Kami berhenti di pelataran danau. Berdamai dengan ekosistemnya.
Ada perahu bambu, perahu bebek, jembatan apung menuju ke daratan di tengah
danau. Saya berjalan melewati jembatan apung melihat sekitaran. Sekumpulan
pohon cemara menyapa dengan daunnya. Rintik hujan menyambut saya juga juga
saudaranya disana. Tetesannya membentuk pola yang dramatis saat mereka bertemu
di antara permukaan air. Jelasnya, kabut pun tidak kalah menunjukkan
eksistensinya kepada kami. Entah darimana, mereka keluar di antara pohon-pohon
menguap ke udara. Ah Tuhan, damai sekali.
Lalu hujan perlahan mengguyur deras. Saya dan Mades semakin larut berada
disana. Kalian tahu kawan, ada seorang bapak di atas bambu apungnya menebar
jala. Oh ya kawan, jadi danau ini sendiri cukup luas. Di kelilingi perbukitan
dengan pohon-pohon entah apa saja.
tunggu dulu ya kawan, bersambung ke cerita selanjutnya disini.....Akhir Pekan, Yuk Jelajah Sukabumi (Bagian II)