Gunung Parang |
Minggu, 29 Mei 2022 kemarin, masih terbayang keindahan lanskap dari atas Gunung Parang. Gunung batu yang berlokasi di Kampung Cihuni, Kecamatan Sukatani, Purwakarta. Berada di atas sana, saya dan teman-teman berdecak kagum melihat pemandangan Waduk Jatiluhur, hamparan sawah yang menghijau, Gunung Lembu dan undakan perbukitan yang tertata apik di sekitaran. Masyaa Allah.
Lanskapnya ciamik luar biasa |
Mengunjungi Gunung Parang bukanlah hal yang direncanakan sejak jauh-jauh hari. Awal ceritanya begini kawan. Semenjak tinggal dan bekerja di Karawang dan mempunyai waktu libur hanya di hari minggu, membuat saya susah bepergian jauh-jauh. Beberapa kawan sering mengajak untuk jalan bersama dan pergi liburan ke luar kota namun seringnya saya menolak tawaran mereka. Sampailah pada, saya mengajak kawan semasa kuliah untuk beriwsata ke Purwakarta sebab jaraknya hanya sejam setengah dari lokasi saya bekerja sekarang. Kenapa Purwakarta dibanding Karawang? Purwakarta punya Sate Maranggi, Hutan Jati, Waduk Jatiluhur dan wisata alam lain yang bisa dijadikan referensi kawan-kawan saya.
Pada akhirnya, dua hari sebelum hari H, saya membahas destinasi yang kiranya dapat menarik minat mereka. Saya buatkan itinerary sementara karena kawan saya berangkat dari Depok, Tangerang dam Jakarta. Jatuhlah pilihan kepada Gunung Parang dan Hutan Jati sebagai destinasi #OneDayTripPurwakarta kemarin.
Esok harinya saya mencari penyewaan mobil untuk kebutuhan transportasi. Sedangkan teman-teman saya, berangkat menaiki KRL menuju Cikarang dan melanjutkannya dengan Kereta Api Walahar dari Stasiun Cikarang menuju Purwakarta.
Nah karena perjalanan ini cuma sehari tanpa menginap, saya menyarankan agar mereka berangkat di waktu subuh agar tidak kesiangan dan mengejar jadwal kereta lokal jam 7 pagi. Drama pun dimulai, sebut saja Iyus, bukan nama yang sebenarnya, dia mengabarkan tidak akan keburu sampai di Cikarang sebelum pukul 7. Sedangkan dua teman lagi, Putra dan Manah meraka aman menaiki KRL yang tiba di Cikarang setengah tujuh.
Jadi Iyus bukannya ngaret, tetapi saat berangkat, hujan melanda Depok di waktu Subuh sehingga dia jadi terlambat. Untungnya, dia sudah lihai dengan drama perjalanan. Ia pun menyusun rencana, dengan turun di Stasiun Buaran yang pintu keluarnya cukup efektif diaskses, menurutnya. Ia langsung pesan taksi online aka Gocar. Saat menaiki taksi, jam sudah menunjukkan 6.30. Sedangkan durasi perjalanan di maps sekitar 37 menit. Bapak supir sudah pesimis untuk mengejar waktu tersebut.
Sontak Iyus menyampaikan unek-uneknya ke bapak supir, "pak, saya mengejar kereta pukul 7 pagi."
Si bapak supir langsung menyela, "lah di maps aja 37 menit mba".
"iya pak, saya gak mau tahu, yang penting kereta saya berangkat jam 7", seru Iyus lagi.
Tanpa menjawab, bapak supir memburu waktu memacu gas mobilnya di jalan tol. Mungkin ia membatin, sepertinya saya keliru mengambil penumpan hahaha.
KA Lokal Walahar bergegas untuk berangkat. Lihainya lagi, Putra dan Manah melobi bapak walka (petugas kereta) menyampaikan kalau Iyus, sahabat kentelnya sudah sampai di parkiran stasiun, sedang lari terbirit-birit menaiki tangga. Ia dengan sigap memindai tiket kereta dan memasuki peron. Entah jurus apa yang membuat Iyus akhirnya bisa masuk ke kereta di saat kereta berangkat pukul 7.07 pagi. Jelas terdengar di telepon, tawa lepas bahagia mereka bisa bersua di dalam kereta itu. Terkadang di perjalanan emang ada aja ceritanya ya. Alhamdulillah, Tuhan masih merestui sisa perjalanan kami yang bisa kalian baca sampai di akhir. Sedang saya sudah di mobil melaju ke Stasiun Purwakarta sejauh 1,5 jam melewati Pantura, belok kiri di Simpang Jomin untuk sampai ke Purwakarta.
Sampailah mereka, kawan-kawanku di Purwakarta. Kesempatan meet up lagi setelah sekian lama sehabis momen tersesat ke Curug Hordeng Bogor pun terjadi. Mereka tampak happy saat keluar stasiun sembari tertawa-tawa lepas mengingat perjuangan tadi pagi. Keliatan banget sih, mereka happy ketemu aku lagi sepertinya hahaha. Kami pun lanjut berangkat ke arah Polsek Plered, karena jalur dari Pasar Anyar Sukatani ada jalanan amblas. Kami berhenti sebentar sarapan soto. Soto ayam tapi kayak opor soalnya pakai kupat. Tak lupa membeli jajan dan minuman untuk bekal di perjalanan.
Memasuki jalur pedesaan, jalanan menanjak curam, melewati sawah, hutan dan perkampungan. Gunung-gunung batu menyapa kami. Sama seperti udara sejuk yang menyambut kedatangan kami. Sampailah di lokasi Gunung Parang Badega tepat pukul 11 siang. Molor sejam dari rencana jadwal. Kami pun sudah sepakat men-skip Hutan Jati kalau tidak sempat. Kami naik ke basecamp Gunung Parang untuk beristirahat sejenak.
Pendakian dimulai sehabis sholat dzuhur, sekitar pukul tengah 1. Semuanya memakai carabiner, body harnest dan helm. Selain itu, kawan-kawan saya sudah sedia suncreen entah merk apa saja, maklum lah ya, biar gak kebakar dan belang. Sayang juga ya kan, harga kolagen relatif mahal katanya.
Kami pun memulai trekking menuju titik awal pendakian. Sempat berfoto-foto di lokasi camping ground, yang mana disana saja kami sudah terpukau sama pemandangannya yang keren banget. Ini foto lanskapnya, luar biasa banget bukan.
Kami pun diberi briefing dan juga berdoa supaya dikasih selamat dan kelancaran. Aamiin! Perjalanan menuju ke starting point melewati jalanan tanah melewati pohon-pohon. Lalu agak sedikit menanjak sekitar 10 menit. Melewati jalanan bambu di pinggir celah bukit tepat di bawah Gunung Parang.
Kami pun memulai via ferrata. Saya di depan, Manah, Iyus, Putra dan dua orang Mba-Mba dari Karawang Kota. Bersama guide kami, Mas Baban, yang memandu pendakian. Jadi unsur safety sangat diutamakan di kegiatan outdoor via ferrata ini.
Sebagai informasi, ferrata adalah tangga besi. Sebagai pionir jalur ferrata pertama di Indonesia, Gunung Parang mereplikasi wisata adrenalin ini dari Italia. Terdapat dua rute yang ditawarkan disana yaitu 300 m dengan durasi normal pp selama 3 jam, sedangkan rute 900 m normatif pp bisa ditempuh selama 6 jam. Kami tentu memilih jalur yang pertama. Sebelumnya saya sudah pernah mencoba kegiatan ini di tahun 2016. Kalian bisa membaca pengalaman saya disini.
Gunung Parang itu sejenis gunung batu. Mencapai puncaknya, pengunjung dapat mencoba via ferrata berupa besi yang dibor menancap ke dalam batuannya hingga tersusun menyerupai tangga. Itulah maksud nama ferrata. Selain mengakomodir pendaki pemula yang memiliki antuasiasme terhadap kegiatan pendakian, namun tidak seprofesional pemanjat tebing (wall climbing). Sebelum memulai pendakian, diwajibkan sekali nih, untuk yakin kepada diri sendiri. Menghilangkan rasa takut, cemas dan khawatir akan berada di ketinggian. Kuncinya adalah kita harus menjaga unsur keamanan saat menaiki juga menuruni tangga, dengan memasang carabiner di sling kawat dan di tangga besi. Secara bergantian melepas-memasang kembali carabiner yang terdiri dari dua bagian, satu untuk sling kawat dan satunya lagi dipasang di tangga besi. Just in case, keamanan double ini dipakai supaya lebih aman.
Jalur ferrata sendiri arahnya tidak selalu vertikal, ada juga yang horizontal atau acak susunannya.
Pada awalnya kita mungkin akan kagok untuk dapat terbiasa memainkan peran tangan yang melepas carabiner dan juga memegang tangga besi. Namun, lama-kelamaan akan mulai terbiasa dan tetap fokus, satu titik, titik itu, kita kejar. Maksudnya saat kita menaiki tingkatan tangga. Makin ke atas, makin indah pula suguhan pemandangannya. Mata kita seperti drone yang sedang melayang di ketinggian. Untung gak ditabrak burung ye kan.
Kontur Gunung Parang sendiri pun tidak melulu vertikal, terdapat sisi dataran di mana kita bisa beristirahat sejenak sambil menikmati pemandangan di sekitar sana sambil menikmati lagu Westlife yang putar Mas Baban. Indah banget! Terpukau...
Karena posisi saya di paling depan, sesekali saya mengambil foto kawan-kawan yang amat serius menaiki tangga. Awalnya mereka terlihat deg-degan. Kian naik, kian bisa melepas senyuman, amat sangat menikmati suasana di atas tebing yang momennya luar biasa. Saya pun turut senang bisa membawa mereka ke tempat seindah yang bahkan tidak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata. Sebuah pencapaian mereka dapat mengalahkan rasa ketakutan yang muncul sedari semalam suntuk sebelum keberangkatan ke Purwakarta. Meski alasan yang saya dengar, mereka mau kesini karena ajakan saya, kalau bukan saya yang mengajak mereka tidak akan mau. Klasik terdengar memang. Padahal usaha melawan ketakutan itu muncul dari diri mereka sendiri bukan.
Mentari begitu bersahabat dengan kami. Hari di mana semesta ibarat mendukung pula pertemuan kami disana. Tentu perjalanan ini juga dilancarkan atas doa-doa orang terdekat kami. Terima kasih! Di atas sana, kami banyak mengabadikan momen saat menemukan dataran diantara tebing-tebing. Berhenti menghela napas. Beristirahat. Memandang ke arah jauh. Bukan arunika, sesuatu yang adiwarna dan dikara. Voilaaa ku sajikan foto ini sebagai gambaran otak kalian jika ingin kesana.
Dersik angin sesekali terdengar diantara hembusan nafas yang makin tersengal. Jenggala di Gunung Lembu dan sekitaran lagi-lagi menjadi buruan mata, bentuk sawah meliuk-liku seperti terasering, ada cerukan air nampak seperti telaga, rumah-rumah warga berpola mengikuti jalanan pedesaan, keramba-keramba ikan tak mau kalah menghiasi pola permukaan air yang amat luas di Waduk Jatiluhur. Enceng gondok tak mau kalah eksis tumbuh di atasnya. Meski mereka dianggap sebagai limbah sebab masifnya tumbuhan ini memenuhi permukaan air waduk. Saujana, bumi ini teramat selesa. Kami berdiri di atas tebing seperti nagkring menuju jumantara.
Di titik dataran terakhir kami berhenti. Disana berbincang bersama entah membahas topik (gak) penting apa saja. Aku pun sempat mengirimkan foto lanskap ke wa ibuku. Begitupun Iyus sempat video call dengan ibunya memperlihatkan lanskap keindahan itu.
Lanjutlah kami di titik mendekati spot 300 m. Disana terdapat ujung tebing yang menjorok. Kami melewati celah tebing satunya. Hanya Iyus sendiri yang tidak foto karena sudah lelah, lantas ingin segera minum es teh manis. Sedangkan aku juga sudah lapar sangat karena sudah melewati waktu ashar. Perut keroncongan. Kami hanya berbekal minuman. Pas awal pendakian kami tidak makan dahulu karena agar perut tidak kembung/sengkil.
Sampai di titik terakhir. Sesi foto-foto dengan plang yang menunjukkan lokasi ketinggian 300 m berada. Kami tidak berlama-lama, aku pun langsung menuruni tangga. Proses menuruni ferrata memang harus lebih ekstra hati-hati. Karena otot kaki harus kuat menahan beban hidup, maksudnya beban badan. Apalagi rutenya cukup vertikal ke bawah. Rasa ngilu kadang muncul sesekali. Turun perlahan dan sembari mengatur napas. Matahari sudah mengarah ke ufuk barat. Sorot senja mulai menampakkan auranya. Sisi tebing bagian bawah sudah gelap ketiadaan cahaya.
Oh ya kawan, hal terpenting lain selain safety equipment adalah outfit yang digunakan termasuk dari kaki hingga ke kepala. Aku sudah berpesan kepada kawan-kawan agar memakai celana longgar, baju panjang/sport, sepatu atau sandal gunung, topi, jas hujan, obat-obatan pribadi, dan tumbler. Supaya kegiatan pendakian kami berjalan nyaman dan aman. Tak dinyana, sandal gunung Iyus, pada bagian jahitannya lepas. Ini epic momen sekali. Hahahaha. Ada saja ceritanya. Maklum saja, sandalnya sudah berumur sehingga jahitannya tak lagi kuat menahan pijakan dan hentakan saat menaiki ferrata. Akhirnya aku menawarkan sepatuku untuk dipakainya supaya nyaman. Aku memakai sandalnya. Tidak lama saat hendak sampai di titik 300 m, eh memang sudah usang, sandal bagian kanan pun ikutan lepas jahitannya sehingga sudah tidak bisa dipakai. Aku pun turun nyeker beralaskan kaos kaki dengan rasa ngilu ketika menginjak besi. Iyus berulang kali minta maaf merasa tidak enak hati. Padahal yang lebih penting, supaya hati-hati di jalan, namun bukan seperti maksud lirik lagunya Tulus.
Sampailah kami di bawah menginjak tanah sekitar pukul 5 sore. Alhamdulillah ya napak juga di tanah. Hai kawan, pencapaian mendaki Parang via Ferrata ini amat berkesan sekali bukan. Bisa jadi ini pengalaman sekali seumur hidup yang memang rekomen sekali untuk dicoba. Saya pun masih tertantang untuk mendaki kembali menjajal rute 900 m yang tampak memanggil saya untuk menjajahinya.
Satu fakta dari kawan saya Manah, "ia sebelumnya tidak pernah dan berani untuk manjat pohon meskipun itu pendek. Bermodalkan keyakinan, alhamdulillah dia bisa naik ferrata 300 m di Gunung Parang."
Kesan dari Iyus dengan pengalamannya mendaki, "lelah, berat, tapi kalah sama perasaannya saat melihat pemandangan dari atas tebing yang luar biasa bagus dan rasa bangga ketika sudah turun sampai ke tanah lagi. A whole new feeling."
Putra berkesan, "seru banget, ia tidak menyangka bisa sekeren kemarin. LAKI banget lah ya kegiatan outdoornya. Hahahaha."
See you guys di perjalanan selanjutnya....
Fyi, biaya one day trip ke Gunung Parang seharga 200k. Ini cukup terjangkau dengan pengalaman yang akan sangat berkesan sekali di lembaran cerita kita dan kalian yang akan berkunjung kesana. Sedangkan biaya total kami sekitar 500ribuan/orang (termasuk sewa mobil, bensin, tiket kereta lokal, sarapan, jajan di warung, makan dan minum, minuman di rest area, dan juga driver).
Sekian cerita perjalana saya, sampai jumpa di lain cerita. Yuk berwisata di Indonesia Aja, turut bangkitkan ekonomi lokal. Demi eksistensi keberlanjutan pariwisata Indonesia yang lebi baik lagi.
Kewreeen
BalasHapusKewreeennn
BalasHapus